"Dan hendaklah diantara kamu ada (segolongan) umat yang menyeru kepada yang makruf (kebaikan) dan mencegah yang munkar"
Kamis, 11 Juli 2013
Produk Haram ( Hukum Pacaran )
Kecintaan terhadap lawan jenis merupakan fitrah yang ada pada setiap manusia yang sempurna. Inilah hikmah diciptakannya manusia dengan jenis yang berbeda, berupa laki-laki dan wanita.
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)".
(Q.S. Ali Imran: 14).
Namun kecintaan kepada lawan jenis, harus diletakkan pada tempatnya sesuai aturan syari’at. Jika tidak, maka di sinilah manusia akan hidup seperti binatang, bahkan lebih keji lagi. Cara dan tipsnya yang syar’i, bina dan tumbuhkan cinta ini dalam rumah tangga melalui gerbang nikah, bukan sebelum berumah tangga, karena ini terlarang dalam agama kita.
Pembaca yang budiman, kecintaan terhadap lawan jenis inilah yang menjadi alasan dua anak manusia terjerumus dalam perkara haram, hina dan keji dengan menjalin hubungan, memadu kasih, mengukir kisah asmara dan berjanji setia sehidup dan semati, atau lebih akrab disebut dengan istilah "pacaran" !!!
Betapa banyak harta yang terbuang karenanya, betapa banyak manusia menjadi gila karena ulahnya, betapa banyak kemaksiatan yang terjadi karena melakukannya, dan jiwapun melayang disebabkan olehnya. Namun sangat sedikit manusia yang mau mengambil pelajaran.
Lalu kenapa produk barat yang bermerek "pacaran" ini masih menjadi "virus" yang menjangkiti hampir semua kalangan, mulai dari Sekolah Dasar, SMP, SMA, sampai di bangku kuliahan. Mereka merasa malu, bila masih sendiri alias belum punya pacar. Semua ini disebabkan karena hawa nafsu yang sudah berkuasa pada diri seseorang, kurangnya perhatian orang tua, dan jauhnya mereka dari agama.
Berbagai macam dalih dan beribu merek alasan yang sering dilontarkan untuk menghalalkan produk haram ini. Yah, "alasanya mengikuti perkembangan zaman", "cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup, agar bisa saling mengenal karakter dan sifat masing-masing sebelum menjalani bahtera kehidupan rumah tangga". Ini adalah jerat-jerat setan. Lalu sampai di mana kalian akan saling mengenal pasangan? Apakah sampai harus melanggar batasan-batasan Allah !!? Ini adalah pintu kebinasaan yang akan menghinakan dirimu.
Namun kecintaan kepada lawan jenis, harus diletakkan pada tempatnya sesuai aturan syari’at. Jika tidak, maka di sinilah manusia akan hidup seperti binatang, bahkan lebih keji lagi. Cara dan tipsnya yang syar’i, bina dan tumbuhkan cinta ini dalam rumah tangga melalui gerbang nikah, bukan sebelum berumah tangga, karena ini terlarang dalam agama kita.
Pembaca yang budiman, kecintaan terhadap lawan jenis inilah yang menjadi alasan dua anak manusia terjerumus dalam perkara haram, hina dan keji dengan menjalin hubungan, memadu kasih, mengukir kisah asmara dan berjanji setia sehidup dan semati, atau lebih akrab disebut dengan istilah "pacaran" !!!
Betapa banyak harta yang terbuang karenanya, betapa banyak manusia menjadi gila karena ulahnya, betapa banyak kemaksiatan yang terjadi karena melakukannya, dan jiwapun melayang disebabkan olehnya. Namun sangat sedikit manusia yang mau mengambil pelajaran.
Lalu kenapa produk barat yang bermerek "pacaran" ini masih menjadi "virus" yang menjangkiti hampir semua kalangan, mulai dari Sekolah Dasar, SMP, SMA, sampai di bangku kuliahan. Mereka merasa malu, bila masih sendiri alias belum punya pacar. Semua ini disebabkan karena hawa nafsu yang sudah berkuasa pada diri seseorang, kurangnya perhatian orang tua, dan jauhnya mereka dari agama.
Berbagai macam dalih dan beribu merek alasan yang sering dilontarkan untuk menghalalkan produk haram ini. Yah, "alasanya mengikuti perkembangan zaman", "cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup, agar bisa saling mengenal karakter dan sifat masing-masing sebelum menjalani bahtera kehidupan rumah tangga". Ini adalah jerat-jerat setan. Lalu sampai di mana kalian akan saling mengenal pasangan? Apakah sampai harus melanggar batasan-batasan Allah !!? Ini adalah pintu kebinasaan yang akan menghinakan dirimu.
- Dalil Haramnya Pacaran
Allah -Azza wa Jalla- Yang Maha Penyayang kepada
hamba-Nya telah menutup segala celah yang bisa membinasakan hamba-Nya, di
antaranya adalah zina, dan segala pengantar menuju zina. Allah –Azza wa
Jalla- berfirman:
"Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra’ : 32)
Allah telah melarang hamba-Nya untuk mendekati perzinaan, karena zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. Maka segala hal yang bisa mengantarkan kepada bentuk perzinaan telah diharamkan pula oleh Allah. Sedangkanpacaran adalah sebesar-besar perkara yang bisa mengantarkan ke pintu perzinaan !!! Data dan realita telah membuktikan; tak perlu kita sebutkan satu-persatu kisah buruk dan menjijikkan, dua insan yang dimabuk asmara.
Jika Allah dalam ayat ini mengharamkan pengantar menuju zina (diantaranya pacaran), maka tentunya Allah mengharamkannya karena hal itu akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) di atas permukaan bumi, seperti kerusakan nasab, harga diri, rumah tangga, dunia, dan akhirat.
Para Pembaca yang budiman, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan firman Allah di atas, kenapa Allah mengharamkan pacaran? Jawabnya, berdasarkan hadits-hadits yang ada, bahwa pacaran mengandung beberapa perkara maksiat lainnya; satu dengan lainnya saling mengundang, seperti:
"Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra’ : 32)
Allah telah melarang hamba-Nya untuk mendekati perzinaan, karena zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. Maka segala hal yang bisa mengantarkan kepada bentuk perzinaan telah diharamkan pula oleh Allah. Sedangkanpacaran adalah sebesar-besar perkara yang bisa mengantarkan ke pintu perzinaan !!! Data dan realita telah membuktikan; tak perlu kita sebutkan satu-persatu kisah buruk dan menjijikkan, dua insan yang dimabuk asmara.
Jika Allah dalam ayat ini mengharamkan pengantar menuju zina (diantaranya pacaran), maka tentunya Allah mengharamkannya karena hal itu akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) di atas permukaan bumi, seperti kerusakan nasab, harga diri, rumah tangga, dunia, dan akhirat.
Para Pembaca yang budiman, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan firman Allah di atas, kenapa Allah mengharamkan pacaran? Jawabnya, berdasarkan hadits-hadits yang ada, bahwa pacaran mengandung beberapa perkara maksiat lainnya; satu dengan lainnya saling mengundang, seperti:
- Memandang Lawan Jenis yang Bukan Mahram
Saling memandang antara satu dengan yang lainnya sudah
menjadi perkara yang lumrah bagi dua insan yang dimabuk cinta. Sementara
memandang lawan jenis bisa membangkitkan syahwat apalagi bila sang wanita
berpakaian ketat yang menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Oleh karena itu "bohong"
bila seorang laki-laki tidak tergiur dengan penampilan wanita yang menampakkan
lekuk-lekuk tubuhnya, apa lagi sang wanita tergila-gila kepadanya dan tiap hari
berada di sisinya. Sebenarnya sang laki-laki bejat tinggal menunggu waktu dan
kesempatan saja untuk bisa melampiaskan nafsu setannya. Setelah itu terjadilah
apa yang terjadi… naudzu billahi min dzalik.
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim menjaga matanya dari memandang perkara-perkara yang diharamkan untuk dilihat. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya (dari hal yang haram); yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya (dari yang haram)". (QS. An-Nur: 30-31).
Jarir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhuma- berkata,
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفَجْأَةِ ؟ فَقَالَ: اِصْرِفْ بَصَرَكَ
"Aku bertanya kepada Rasulallahi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda, "Palingkan pandanganmu". [HR. Muslim (2159), Abu Dawud (2148), At-Tirmidziy (2776)]
Memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang (bukan mahram), meskipun tanpa syahwat, maka ia adalah zina mata. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ اَدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذلِكَ لَا مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
"Telah ditulis bagi setiap bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah (lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara qalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan (merealisasikan) hal itu atau mendustakannya". [HR. Al-Bukhoriy (5889) dari Ibnu Abbas, dan Muslim (2657) dari Abu Hurairah]
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim menjaga matanya dari memandang perkara-perkara yang diharamkan untuk dilihat. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya (dari hal yang haram); yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya (dari yang haram)". (QS. An-Nur: 30-31).
Jarir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhuma- berkata,
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفَجْأَةِ ؟ فَقَالَ: اِصْرِفْ بَصَرَكَ
"Aku bertanya kepada Rasulallahi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda, "Palingkan pandanganmu". [HR. Muslim (2159), Abu Dawud (2148), At-Tirmidziy (2776)]
Memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang (bukan mahram), meskipun tanpa syahwat, maka ia adalah zina mata. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ اَدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذلِكَ لَا مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
"Telah ditulis bagi setiap bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah (lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara qalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan (merealisasikan) hal itu atau mendustakannya". [HR. Al-Bukhoriy (5889) dari Ibnu Abbas, dan Muslim (2657) dari Abu Hurairah]
- Saling Merayu, dan Menggoda dengan Suara Lembut
Lalu bagaimana lagi jika yang dilakukan bukan hanya sekedar
memandang, tapi juga dibumbui dengan cumbu rayu, berbalut suara yang mengundang
syahwat dan sejuta godaan dusta!! Allah -Subhanahu wa Ta’ala-
berfirman,
"Maka janganlah kamu tunduk (bersuara lembut) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik". (QS. Al-Ahzab:32).
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata menafsirkan ayat ini, "Maknanya hal ini, seorang wanita berbicara (di balik tirai dan penghalang, -pent) dengan orang lain dengan ucapan yang di dalamnya tak terdapat kemerduan suara, yakni seorang wanita tidak berbicara dengan orang lain sebagaimana ia berbicara dengan suaminya (dengan penuh kelembutan)". [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Karim (3/636)]
Jadi, seorang lelaki atau wanita terlarang untuk saling menggoda, merayu, dan bercumbu dengan ucapan-ucapan yang membuat salah satu lawan jenis tergoda, dan terbuai sehingga pada gilirannya membuka jalan menuju zina, baik itu zina kecil (seperti memandang, saling memikirkan, dan lainnya), maupun zina besar !!
"Maka janganlah kamu tunduk (bersuara lembut) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik". (QS. Al-Ahzab:32).
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata menafsirkan ayat ini, "Maknanya hal ini, seorang wanita berbicara (di balik tirai dan penghalang, -pent) dengan orang lain dengan ucapan yang di dalamnya tak terdapat kemerduan suara, yakni seorang wanita tidak berbicara dengan orang lain sebagaimana ia berbicara dengan suaminya (dengan penuh kelembutan)". [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Karim (3/636)]
Jadi, seorang lelaki atau wanita terlarang untuk saling menggoda, merayu, dan bercumbu dengan ucapan-ucapan yang membuat salah satu lawan jenis tergoda, dan terbuai sehingga pada gilirannya membuka jalan menuju zina, baik itu zina kecil (seperti memandang, saling memikirkan, dan lainnya), maupun zina besar !!
- Menemui Wanita Tanpa Mahram, dan Tanpa Pembatas
Sehari bagaikan sepekan, sepekan bagaikan sebulan, dan
sebulan bagaikan setahun bila sepasang anak manusia yang sedang dimabuk cinta
tidak bertemu. Ketika mereka bertemu, pastilah berduaan. Sang pria berusaha
sebisa mungkin menemui si wanita, tanpa ada mahram, dan tanpa pembatas berupa
tirai yang melindungi mereka dari pandangan syahwat. Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- bersabda,
إَيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ ألْحَمْوَ؟ قَالَ : الْحَمْوُ الْمَوْتُ
"Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita". Seorang lelaki dari kalangan Ashar berkata, "Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami?" Maka Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, "Mereka adalah kematian (kebinasaan)". [HR. Al-Bukhoriy (5232), Muslim (2172), dan At-Tirmidziy (1171)]
إَيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ ألْحَمْوَ؟ قَالَ : الْحَمْوُ الْمَوْتُ
"Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita". Seorang lelaki dari kalangan Ashar berkata, "Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami?" Maka Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, "Mereka adalah kematian (kebinasaan)". [HR. Al-Bukhoriy (5232), Muslim (2172), dan At-Tirmidziy (1171)]
- Berduaan antara Pria dan Wanita
Lebih para lagi, jika pria dan wanita yang berpacaran ini
saling berduaan, karena setan sudah hampir berhasil menjerumuskan keduanya
dalam zina. Makanya, kasus zinanya orang yang berpacaran, itu terjadi di saat
mereka berduaan; saat mereka bebas mengungkap isi hatinya, dan syahwatnya yang
bergejolak kepada lawan jenisnya. Sebab itu, kedua pasangan yang haram ini
berusaha mencari tempat yang tersembunyi, dan jauh dari jangkauan manusia; ada
yang pergi ke daerah wisata Malino, Bantimurung, tepi pantai; ada yang lebih
elit lagi sewa hotel, villa, dan lainnya. Untuk apa? Agar bebas berduaan
melampiaskan birahinya yang keji !!! Di lain sisi, sebagian wanita tak sadar
jika ia akan dihinakan dengan perbuatan itu, karena hanya sekedar janji-janji
muluk dan dusta. Sadarlah wahai kaum wanita, jika seorang
lelaki yang mengungkapkan cintanya kepadamu, tanpa melalui pintu nikah, maka
ketahuilah bahwa itu adalah "cinta palsu", dan "janji
dusta"
Seorang dilarang berduaan dengan lawan jenisnya yang bukan mahramnya, karena hal itu akan membuat setan lebih leluasa menggoda dan menjerumuskan seseorang dalam zina, dan pengantarnya. Rasulllah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
"Jangan sekali-sekali salah seorang di antara kalian (kaum pria) berduan dengan seorang wanita, karena setan adalah pihak ketiganya". [HR. At-Tirmidziy (2165), dan Ahmad (114). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (6/215)]
Seorang dilarang berduaan dengan lawan jenisnya yang bukan mahramnya, karena hal itu akan membuat setan lebih leluasa menggoda dan menjerumuskan seseorang dalam zina, dan pengantarnya. Rasulllah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
"Jangan sekali-sekali salah seorang di antara kalian (kaum pria) berduan dengan seorang wanita, karena setan adalah pihak ketiganya". [HR. At-Tirmidziy (2165), dan Ahmad (114). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (6/215)]
- Memegang dan Menyentuh Pacar
Pacaran tidaklah lepas dari bersentuhan, entah dengan cara
berjabat tangan, berboncengan di atas kendaraan, atau berpegangan, berpelukan,
berciuman dan lainnya. Ketahuilah bahwa memegang dan menyentuh wanita yang
bukan mahram kita adalah perbuatan yang diharamkan dalam agama kita. Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
"Andaikan kepala seseorang di cerca dengan jarum besi, itu lebih baik (ringan) baginya dibandingkan menyentuh seorang wanita yang tak halal baginya". [HR. Ar-Ruyaniy dalam Al-Musnad (227/2), dan Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (486, & 487)]
Al-Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata setelah menguatkan sanad hadits diatas dalam Ash-Shohihah (1/1/448), "Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tak halal baginya. Jadi, di dalamnya juga ada dalil yang menunjukkan haramnya berjabat tangan dengan para wanita (yang bukan mahram), karena berjabat tangan dicakup oleh kata "menyentuh", tanpa syak. Perkara seperti ini telah menimpa kebanyakan kaum muslimin di zaman ini. (Namun sayang), di antara mereka ada yang berilmu andaikan ia ingkari dalam hatinya, maka masalahnya sedikit agak ringan. Cuman mereka ini berusaha menghalalkannya dengan berbagai jalan, dan takwil. Telah sampai suatu berita kepada kami bahwa ada seorang tokoh besar di Al-Azhar telah disaksikan oleh sebagian orang sedang berjabat tangan dengan para wanita !! Hanya kepada Allah tempat kita mengadu dari keterasingan Islam".
لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
"Andaikan kepala seseorang di cerca dengan jarum besi, itu lebih baik (ringan) baginya dibandingkan menyentuh seorang wanita yang tak halal baginya". [HR. Ar-Ruyaniy dalam Al-Musnad (227/2), dan Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (486, & 487)]
Al-Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata setelah menguatkan sanad hadits diatas dalam Ash-Shohihah (1/1/448), "Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tak halal baginya. Jadi, di dalamnya juga ada dalil yang menunjukkan haramnya berjabat tangan dengan para wanita (yang bukan mahram), karena berjabat tangan dicakup oleh kata "menyentuh", tanpa syak. Perkara seperti ini telah menimpa kebanyakan kaum muslimin di zaman ini. (Namun sayang), di antara mereka ada yang berilmu andaikan ia ingkari dalam hatinya, maka masalahnya sedikit agak ringan. Cuman mereka ini berusaha menghalalkannya dengan berbagai jalan, dan takwil. Telah sampai suatu berita kepada kami bahwa ada seorang tokoh besar di Al-Azhar telah disaksikan oleh sebagian orang sedang berjabat tangan dengan para wanita !! Hanya kepada Allah tempat kita mengadu dari keterasingan Islam".
- Nasihat bagi Orang Tua
Suatu perkara yang membuat kita sedih, orang tua tidak
peduli lagi dengan anak gadisnya ketika keluar rumah bersama laki-laki yang
bukan mahramnya. Keluar dengan berpakaian serba ketat, kemudian dibonceng,.
Tidak tahu kemana anak gadisnya dibawa pergi. Lalu terjadilah apa yang
terjadi. Si gadis terkadang pulang larut malam, namun orang tua hanya
membiarkan kemungkaran terjadi di dalam rumah tangga, dan keluarganya. Inilah Dayyuts
yang diharamkan baginya jannah (surga). Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda,
ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ : مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَ الْعَاقُّ وَ الدَّيُّوْثُ الَّذِيْ يُقِرُّ فِيْ أَهْلِهِ الْخُبْثَ
"Ada tiga golongan yang sungguh Allah haramkan baginya surga: pecandu khomer, orang yang durhaka (kepada orang tuanya), dan dayyuts yang membiarkan perbuatan keji dalam keluarganya". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/69/no. 5372). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' (3047)]
Jika kita melirik ke arah yang lain, ternyata ada juga wanita yang berbusana muslimah dan pria memakai gamis jatuh ke dalam jerat setan ini. Mereka sebut dengan istilah "pacaran islami". Tentunya ini justru lebih berbahaya karena jalan menuju perzinaan yang telah dibungkus dengan label "islami". Padahal sungguh agama Islam yang suci ini telah berlepas diri dari perbuatan ini.
Pacaran yang merupakan pos dan gerbang menuju zina ini, jika dianggap "islami" -padahal itu haram berdasarkan ayat yang lalu-, maka kami khawatirkan akan muncul generasi yang akan menghalalkan perkara-perkara haram lainnya, karena dipoles dan dihiasi dengan label "islami" sehingga mereka nantinya akan membuat istilah "musik islami", "khomer islami", "mencuri islami", "riba islami", "judi islami", dan lain sebagainya. Padahal musik, khomer, mencuri, riba, dan judi adalah perkara-perkara haram, namun dihalalkan oleh mereka hanya karena permaiman kata yang licik. Na’udzu billah min dzalik !!
Akhirnya kami nashihatkan kepada kaum yang dilanda asmara agar segera bertaubat kepada Allah sebelum nyawa meregang. Hentikan pacaran yang akan menjatuhkan kalian dalam jurang kenistaan. Jagalah kehormatan kalian yang suci dengan tameng ketaqwaan kepada Allah -Ta’ala- .
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 67 Tahun II.
ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ : مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَ الْعَاقُّ وَ الدَّيُّوْثُ الَّذِيْ يُقِرُّ فِيْ أَهْلِهِ الْخُبْثَ
"Ada tiga golongan yang sungguh Allah haramkan baginya surga: pecandu khomer, orang yang durhaka (kepada orang tuanya), dan dayyuts yang membiarkan perbuatan keji dalam keluarganya". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/69/no. 5372). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' (3047)]
Jika kita melirik ke arah yang lain, ternyata ada juga wanita yang berbusana muslimah dan pria memakai gamis jatuh ke dalam jerat setan ini. Mereka sebut dengan istilah "pacaran islami". Tentunya ini justru lebih berbahaya karena jalan menuju perzinaan yang telah dibungkus dengan label "islami". Padahal sungguh agama Islam yang suci ini telah berlepas diri dari perbuatan ini.
Pacaran yang merupakan pos dan gerbang menuju zina ini, jika dianggap "islami" -padahal itu haram berdasarkan ayat yang lalu-, maka kami khawatirkan akan muncul generasi yang akan menghalalkan perkara-perkara haram lainnya, karena dipoles dan dihiasi dengan label "islami" sehingga mereka nantinya akan membuat istilah "musik islami", "khomer islami", "mencuri islami", "riba islami", "judi islami", dan lain sebagainya. Padahal musik, khomer, mencuri, riba, dan judi adalah perkara-perkara haram, namun dihalalkan oleh mereka hanya karena permaiman kata yang licik. Na’udzu billah min dzalik !!
Akhirnya kami nashihatkan kepada kaum yang dilanda asmara agar segera bertaubat kepada Allah sebelum nyawa meregang. Hentikan pacaran yang akan menjatuhkan kalian dalam jurang kenistaan. Jagalah kehormatan kalian yang suci dengan tameng ketaqwaan kepada Allah -Ta’ala- .
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 67 Tahun II.
Jumat, 14 Juni 2013
HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU ISLAM
Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati
Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari
Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.
Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1
Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan
dalam syari’at Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.
Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
24/1/1418 H
Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.
Ditulis oleh :
Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn
24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Para pembaca sekalian,
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.
Wallâhu a’lam bish shawâb
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.
Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
24/1/1418 H
Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.
Ditulis oleh :
Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn
24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Para pembaca sekalian,
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.
Wallâhu a’lam bish shawâb
Selasa, 11 Juni 2013
Risalah Untuk Imam Masjid
Muqoddimah
Saudaraku kaum muslimin, berikut ini
adalah contoh surat seseorang kepada Imam Masjid. Surat tersebut dibuat
karena pelaksanaan sholat berjamaah di masjid dirasa terlalu cepat.
Makmum sering ketinggalan dalam membaca AlFatihah (padarokaat yang
tidakdibacakeras). Mereka juga ketinggalan pada gerakan ruku’ dan
sujud, karena Imam hanya sekedar mengejar batas minimum thuma’ninah :
membaca tasbih 1x.
Kebetulan, Imam masjidnya bacaannya
Qurannya bagus, dan bermadzhab Asy-Syafi’i, seperti kebanyakan Imam
masjid yang lain di Indonesia. Sehingga, dinukilkan beberapa pendapat
Ulama yang dijadikan rujukan, seperti Imam AnNawawi, Ibnul Mubarak, dan
al-Hasan al-Bashri.
Isi surat tersebut telah di
modifikasi dengan menghilangkan identitas tempat tertentu, sehingga
mungkin bisa sebagai rujukan umum untuk dihidangkan pada Imam-imam di
masjid yang lain yang kondisinyasama.Baarakallaahufiikum…
Isi SuratnyaadalahSebagaiberikut:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعين
Al-‘afwuminkum, Ustadz….
Surat ini sekedar sebagai media untuk
semakin memperkokoh ukhuwah dan persaudaraan di antarakita. Kebetulan,
saya merasa lebih nyaman jika bisa menyampaikannya dengan leluasa
melalui tulisan ini.
Sebelumnya saya mohon maaf jika ada kata-kata yang dirasa kurang berkenan, semoga Allah SubhaanahuWaTa’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan ampunanNya kepada kita semua…
Alhamdulillah, saya bersyukur kepada
Allah karena Ustadz sebagai Imam di masjid di desa kita. Dalam salah
satu sisi, bacaan Quran Ustadz adalah bacaan yang baik, tepat, dan benar
yang bisa menghantarkan kekhusyukan para Jama’ah, sebagai suatu nikmat
dari Allah SubhaanahuWaTa’ala.
Tidak semua masjid atau musholla Imamnya bacaannya benar. Kadang kala bacaan Imam tidak tepat makhraj atau panjang pendeknya. Tapi Alhamdulillah, Imam masjid kami tidak seperti itu, bi ‘aunillahwarohmatihi…
Bagi saya dan sebagian saudara kita, mengikuti sholat berjamaah yang suasananya nyaman, khidmat, khusyu’ dan tenang adalah suatu kebutuhan. Kami ingin menikmati ibadah sholat berjamaah tersebut. Sebagaimana Nabi menyatakan:
وَجُعِلَتْقُرَّةُعَيْنِيفِيالصَّلَاةِ (رواه أحمد والنسائي)
“dan dijadikan penyejuk jiwaku dalam sholat” (H.R Ahmad dan anNasaai)
Namun, seringkali kami merasa sholat
yang kami ikuti terlalu cepat. Mungkin karena kami masih dangkal
keilmuannya. Butuh lebih banyak waktu untuk meresapi dan merasukkan
makna bacaan sholat dalam sanubari kami. Beda dengan Ustadz yang sudah
demikian mahir dalam bahasa Arab, bacaan cepat pun sudah bisa menghantar
pada kekhusyukan, sudahmembekas dalam hati dan menjadi asupan jiwa yang
menenangkan.
Kami, atau mungkin hanya saya, sering
keteteran jika membaca AlFatihah, khususnya untuk rokaat-rokaat yang
Imam tidak membacanya dengan keras. Sering kali saat saya masih sampai
bacaan : Maalikiyaumiddin, sudah terdengar takbir untuk beranjak menuju ruku’.
Belum sempat saya menyelesaikan bacaan AlFatihah tersebut secara
sempurna. Padahal, di AlFatihah itulah, kesempatan kami untuk
bermunajat, berbisik, menghaturkan pujaan, ketegasan komitmen sebagai
mukmin, dan permohonan kepada Allah. Namun, justru kami sering
ketinggalan. Bukankah AlFatihah adalah komunikasi kita dengan Allah?Kita
berbisik, Allah menjawab seruan kita?
Dalam hadits Qudsi, melalui lisan Rasul-Nya, Allah menyatakan:
“Akumembagi as-sholaah (AlFatihah)
antara diri Ku dengan hamba Ku menjadi 2 bagian. Jika seorang hamba
mengucapkan : AlhamdulillahiRobbil ‘Aalamiin, Allah menyatakan:
hambaku telahmemujiKu. Jika hamba mengucapkan : ArRohmaanirrohiim, Allah
menyatakan : hambaku memujaKu (berulang memujiKu). Jika hamba
mengatakan : Maalikiyaumiddin, Allah menyatakan : hambaKu telah
memulyakan Aku, di saat lain Allah menyatakan : hambaku telah
menyerahkan (urusannya) kepadaKu. Jika hamba mengucapkan:
Iyyaakana’buduwaiyyaakanasta’iin, Allah menyatakan : ini adalah bagian
antara diriKu dengan hambaKu, bagi hambaku apa yang ia minta. Jika hamba
mengucapkan : IhdinasshirootholMustaqiim, shirootholladziinaan’amta
‘alaihim, ghoirilmaghdhuubi ‘alaihimwalad-dhoo-lliin, Allah menyatakan :
ini untuk hambaKu, bagi hambaKu apa yang iaminta”(H.R Muslim).
Bagi kami yang masih dangkal keilmuannya
ini, butuh minimal sekitar 15 detik untuk menyelesaikan bacaan
AlFatihah dengan menghayati maknanya. Sehingga saya mohon kepada Ustadz
sebagai Imam untuk memberikan kesempatan kepada kami para makmum agar
tidak ketinggalan dalam membaca AlFatihah, sehingga bisa
menyelesaikannya dengan sempurna.
Demikian juga dengan gerakan ruku’ dan sujud kami juga sering keteteran dan ketinggalan. Memangkadar minimal thuma’ninah sudah
terpenuhi, namun kadar minimal kesempurnaan tasbih belum terpenuhi.
Jumlah minimal bacaan tasbih yang sempurna adalah 3 kali. Al-Imam
AnNawawy Asy-Syafi’i menyatakan:
قال
أصحابنا يستحب التسبيح في الركوع ويحصل أصل السبحة بقوله سبحان الله أو
سبحان ربي وأدنى الكمال أن يقول سبحان ربى العظيم ثلاث مرات فهذا أدنى
مراتب الكمال (المجموع شرح المهذب ج 3 ص 413)
Para Sahabat kami (asy-Syafi’iyah)
berkata: disukai tasbih pada waktu ruku’, dan tercukupi asal kalimat
tasbih dengan ucapan: Subhaanallah atau SubhaanaRobbi, dan kesempurnaan
yang paling rendah adalah mengucapkan Subhaana Robbiyal ‘Adzhim 3 kali,
maka ini adalah tingkatan kesempurnaan yang paling rendah (lihatKitab
al-Majmu’ SyarhulMuhadzdzabjuz 3 halaman 413).
Dalam Syarh Sunan Ibnu Majah (yang salah seorang penulisnya adalah Imam As-Suyuthi) dinyatakan :
وروي
عن بن المبارك أنه قال يستحب للامام ان يسبح خمس تسبيحات لكي يدرك من خلفه
ثلاث تسبيحات (شرح سنن ابن ماجة 1-64 للسيوطي , عبد الغني وفخر الحسن
الدهلوي)
Dan diriwayatkan dari Ibnul Mubaarok
bahwasanya ia berkata : disukai bagi Imam untukbertasbih 5 kali
(dalamruku’ dan sujud) agar orang yang di belakangnya bisa membaca 3
kali tasbih (SyarhSunanIbnuMajahjuz 1 halaman 64 karya As-Suyuthy, Abdul
Ghony, danFakhrulHasan ad-Dahlawy).
Al-Hasan al-Bashri juga menyatakan:
التَّامُّ مِنَ السُّجُودِ ، قَدْرُ سَبْعِ تَسْبِيحَاتٍ ، وَالْمُجْزِئُ ثَلاَثٌ
Yang terhitung sempurna dalam sujud
adalah kadar (ucapan) 7 tasbih, dan yang mencukupi adalah 3 kali “
(diriwayatkanolehIbnuAbiSyaibahdalamMushonnafnya)
Ibnu Rajab menyatakan:
وقال
بعض أصحابنا يكره للإمام أن ينقص عن أدنى الكمال في الركوع والسجود ، ولا
يكره للمنفرد ؛ ليتمكن المأموم من سنة المتابعة (فتح الباري لابن رجب 5-63)
Sebagian Sahabat kami menyatakan :
dimakruhkan bagi Imam untuk mengurangi (jumlah bacaan tasbih) daribatas
minimum kesempurnaan pada waktu ruku’ dan sujud, tidak dimakruhkan bagi
orang yang sholatsendirian, (hal yang demikian itu) supaya memungkinkan
bagi makmum untuk menjalankan sunnah mutaaba’ah
(mengikutiImam,pent)(Fathul Baari karya Ibnu Rojab juz 5 halaman 63)
Karena itu Ustadz, kami mohon, kiranya
dalam ruku’ dan sujud dalam sholat berjamaah kita, kami bisa membaca
tasbih minimal 3 kali, sehingga terpenuhi batas terendah kesempurnaan.
Demikian Ustadz, apa yang kami sampaikan
ini sekedar harapan dan usulan agar kitabersama-sama bisa
mempersembahkan ibadah yang terbaik di hadapan Allah Ta’ala, yang tiada
daya dan upaya kecuali atas pertolonganNya. Semoga Allah SubhaanahuWaTa’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahNya kepada kita semua.
وصلى الله على نبينا محمد و على أله وأصحابه وسلم, والحمد لله رب العالمين
Senin, 10 Juni 2013
Rukun Islam (Bag IV)
Adapun Rukun Syahadat “Muhammadur-Rasulullah”, maka ada dua:
1. Mengakui kerasulan Muhammad.
2. Meyakini bahwa Beliau hanya hamba, sebagaimana yang Beliau sabdakan:
“Sesungguhnya saya hanyalah hamba, maka sebutlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Maka Beliau tidak boleh diangkat
melebihi derajat ketinggiannya hingga memberikan kepada Beliau suatu
sifat yang khusus bagi Allah, misalnya: meyakini Beliau mengetahui yang
ghaib, memberi manfaat dan memudharatkan, dapat mengabulkan hajat dan
menghilangkan kerusakan.
Allah telah menyebutkan bahwa Beliau sebagai hamba-Nya di tempat-tempat termulia sebagai berikut:
a. Pada penurunan Al-Qur’an
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ
“Maha Suci Allah Yang menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya.” (QS. Al-Furqan: 1)
b. Isra’
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ
“Maha Suci Allah Yang memperjalankan hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 1)
c. Ketika shalat dan berdoa:
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
“Dan bahwasanya tatkala berdiri hamba Allah menyeru-Nya.” (QS. Al-Jin: 19)
d. Saat terlindungi dan tercukupi:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“Bukankah Allah Yang mencukupi hamba-Nya?” (QS. Az-Zumar: 36)
Sungguh Allah telah memuliakan Nabi
Muhammad, mengaruniakan baginya nikmat yang banyak dan sifat-sifat yang
agung, di mana dengan semua itu Allah mengangkat derajatnya dan
meninggikan kedudukannya di antara seluruh makhluk, di antaranya:
a. Beliau disebut beserta para Nabi di dalam wahyu, firman Allah:
إِنَّا
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن
بَعْدِهِ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ
وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَىٰ وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ
وَسُلَيْمَانَ ۚ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
“Sesungguhnya Kami telah mewahyukan
kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan Nabi-nabi
sesudahnya. Dan Kami wahyukan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan
anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun, Sulaiman, serta Kami telah
memberikan kepada dawud kitab Zabur.” (QS. An-Nisaa: 163)
b. Beliau penutup para Nabi:
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Tidaklah Muhammad itu bapak salah seorang kalian, melainkan dia adalah penutup para Nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)
c. Beliau muslim pertama:
إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ
“Saya diperintahkan untuk menjadi orang yang pertama berislam.” (QS. Al-An’am: 14)
d. Di antara keagungan derajatnya,
orang-orang mukmin mendahulukan Beliau atas diri mereka sendiri, dan
istri-istri Nabi menjadi ibu orang-orang beriman:
النَّبِيُّ
أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ
أُمَّهَاتُهُمْ ۗ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي
كِتَابِ اللَّهِ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang
beriman dari diri mereka sendiri, dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu
mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darahsatu sama lain
lebih berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah.” (QS. Al-Ahzab: 6)
e. Pemberi syafa’at yang diizinkan Allah
pada hari mahsyar, Beliau nabi pembawa rahmat, makhluk terbaik,
dakwahnya mencakup dua alam (manusia dan jin), pemimpin anak cucu Adam,
dan Beliau Nabinya islam.
e. Syarat-syarat Laa ilaaha illallah
Para ulama menyebutkan bahwa kalimat
ikhlas atau tauhid mempunyai tujuan syarat dan sebagian menyatakan
delapan dan sebagian menyusunnya dalam ucapan:
“Ilmu, yaqin, ikhlas dan kejujuranmu beserta
Cinta, tunduk, dan menerimanya ditambah dengan kedelapannya pengingkaran darimu dengan apa
yang selain Allah berupa berhala yang telah dipertuhankan.”
1. Ilmu
Jika seorang hamba sudah mengetahui
bahwa hanya Allah yang patut disembah dan penyembahan kepada selain-Nya
merupakan kebatilan serta ia beramal dengan tuntutan kalimat tauhid itu,
maka ia telah berilmu akan makna kalimat tauhid. Allah berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Ilmuilah bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Allah berfirman:
إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Kecuali yang menyaksikan dengan benar sedang mereka mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang mati sedang dia mengilmui bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah maka dia akan masuk surga.”
2. Yakin
Wajib bagi orang yang mengikrarkannya
untuk meyakini sepenuh hatinya dan meyakini akan kebenaran apa yang dia
lafazkan bahwa hanya Allah yang berhak dengan ketuhanan sedangkan
ketuhanan selain-Nya adalah batil. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
“Dan orang-orang yang beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu juga mereka
yakin pada hari akhir.” (QS. Al-Baqarah: 4)
Dari abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda:
“Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang
berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya saya utusan Allah.
Tidaklah seorang hamba menemui Allah membawa kalimat ini tanpa ragu
kepadanya kecuali dia pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda kepadanya:
“Siapa saja yang kamu temui di belakang
dinding ini yang bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain
Allah dan hatinya yakin pada kalimat ini maka berilah ia berita gembira
dengan surga.” (HR. Muslim)
Allah menyifati kaum mukmin:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya hanyalah (termasuk)
orang-orang beriman, orang-orang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya
lalu mereka tidak ragu.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Artinya: tidak ragu, bahkan mereka yakin
dengan sesempurna keyakinan. Adapuun orang yang ragu maka termasuk
orang yang munafik, sebagaimana firman Allah:
إِنَّمَا
يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“Hanyalah yang meminta izin kepadamu
ialah mereka yang tidak beriman pada Allah dan Hari Akhir serta hati
mereka ragu lalu mereka berbolak-balik dalam keraguannya.” (QS.
At-Taubah: 45)
(Syarah kitab AD-Durus Al-Muhimmah oleh Muhammad bin Ali)
Jumat, 07 Juni 2013
Iringi Keburukan Dengan Kebaikan
(Syarh Hadits Ke-18 Arbain anNawawiyyah)
عَنْ
أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ
بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ
السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ
حَسَنٍ.[رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح]
Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan
Abu ‘Abdurrahman, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah
sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan
bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik”.
[HR. Tirmidzi, ia telah berkata: Hadits ini hasan, pada lafazh lain derajatnya hasan shahih]
[HR. Tirmidzi, ia telah berkata: Hadits ini hasan, pada lafazh lain derajatnya hasan shahih]
Sedikit Penjelasan tentang Sahabat yang Meriwayatkan Hadits
Abu Dzar al-Ghiffary berasal dari
Ghiffaar (jalur yang dilewati penduduk Makkah jika akan berdagang ke
Syam) , nama aslinya Jundub bin Junaadah adalah orang ke-5 yang masuk
Islam saat Nabi masih berada di Makkah dan berdakwah secara sembunyi.
Beliaulah orang pertama yang mengucapkan salam secara Islam kepada Nabi.
Selama masa mencari Nabi di Makkah beliau tinggal di dekat Ka’bah
selama 15 hari tidak makan dan minum apapun kecuali air zam-zam hingga
menjadi gemuk. Setelah bertemu Nabi dan masuk Islam beliau kembali pada
kaumnya, mengajarkan Islam kepada mereka, dan tinggal di sana. Setelah
perang Uhud, barulah Abu Dzar bisa menyusul Nabi hijrah ke Madinah.
Sedangkan Muadz bin Jabal adalah Sahabat
Nabi yang paling mengetahui tentang halal dan haram (H.R Ibnu Hibban).
Nabi juga memerintahkan untuk mengambil (ilmu) al-Quran dari 4 orang,
yaitu : Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal dan Salim maula Abi
Hudzaifah(H.R al-Bukhari). Muadz bin Jabal juga diutus Nabi ke Yaman
untuk berdakwah di sana.
PENJELASAN UMUM MAKNA HADITS
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam memberikan bimbingan dalam 3 hal:
- Bertakwa kepada Allah di manapun kita berada. Di waktu sendirian maupun di tengah keramaian. Di setiap waktu dan tempat.
- Jika suatu ketika kita melakukan dosa, susulkanlah / iringi dengan banyak perbuatan ibadah dan kebaikan, agar bisa menghapus dosa itu.
- Bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik
Definisi Taqwa
Thalq bin Habiib(seorang Tabi’i, salah satu murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas) menjelaskan definisi taqwa: “Amalan
ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan mengharap
pahala Allah dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah
berdasarkan cahaya dari Allah dengan perasaan takut dari adzab Allah”.
Banyak para Ulama’ yang memuji definisi
ini di antaranya al-Imam adz-Dzahaby, kemudian beliau mensyarah
(menjelaskan) maksud dari definisi tersebut dalam Siyaar A’laamin Nubalaa’ (4/601)
Beberapa poin penting dari definisi taqwa menurut Thalq bin Habiib tersebut:
- Taqwa adalah amalan ketaatan kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
Taqwa harus berupa amal perbuatan, tidak cukup hanya dalam hati atau ucapan saja.
- Taqwa harus didasarkan cahaya dari Allah, yaitu ilmu syar’i dan ittiba’ (mengikuti Sunnah Nabi).
Tidak mungkin seseorang bisa bertakwa
kepada Allah tanpa ilmu. Dengan ilmu ia akan tahu mana hal-hal yang
diperintah Allah (wajib atau sunnah), yang dilarang Allah (haram atau
makruh), dan mana yang boleh dikerjakan (mubah).
Seseorang bisa beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
- Taqwa harus didasari keikhlasan melakukannya karena Allah bukan karena tendensi yang lain. Ia jalankan ketaatan karena mengharap pahala Allah, dan ia tinggalkan kemaksiatan karena takut dari adzab Allah.
Iringilah Perbuatan Dosa dengan Kebaikan-Kebaikan Niscaya akan Menghapus Dosa Tersebut
Amal ibadah yang dikerjakan dengan
ikhlas dan sesuai dengan Sunnah Rasul selain menambah pahala juga bisa
menghapus dosa sebelumnya. Di antaranya adalah sholat, puasa, shodaqoh,
umrah, amar ma’ruf nahi munkar, duduk di majelis ta’lim, dan semisalnya.
الصَّلَوَاتُ
اْلخَمْسُ وَاْلجُمُعَةُ إِلَى اْلجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ
مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَ اْلكَبَائِر (رواه مسلم)
“ (antara) sholat lima waktu (yang
satu dengan berikutnya), Jumat dengan Jumat, Romadlon dengan Romadlon,
sebagai penghapus dosa di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan “
(H.R Muslim)
فِتْنَةُ
الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَنَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ
يُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلَاةُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
Fitnah yang dialami seorang laki-laki
pada keluarga, harta, diri, dan tetangganya dihapuskan oleh puasa,
sholat, shodaqoh, dan amar ma’ruf nahi munkar (H.R Muslim)
Namun, yang bisa dihapus dengan
perbuatan-perbuatan baik (ibadah) itu adalah untuk dosa-dosa kecil saja,
sedangkan dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat nashuha. Syarat
taubat nashuha adalah bertaubat dengan ikhlas karena Allah semata,
menyesal secara sungguh atas perbuatannya, meninggalkan perbuatan
maksiat tersebut, bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi
selama-lamanya, dan jika terkait dengan hak hamba Allah yang lain, ia
harus meminta maaf (minta dihalalkan).
Apa perbedaan dosa besar dengan dosa
kecil? Dosa besar adalah segala macam perbuatan atau ucapan yang
dilarang dan dibenci Allah dan diancam dalam dalil-dalil alQuran atau
hadits dengan adzab neraka, laknat Allah, kemurkaan Allah, tidak akan
masuk surga, tidak termasuk orang beriman, Nabi berlepas diri dari
pelakunya, atau dosa yang ditegakkan hukum had di dunia, seperti
membunuh, berzina, mencuri, dan semisalnya. Sedangkan dosa kecil adalah
sesuatu hal yang dibenci atau dilarang Allah dan Rasul-Nya namun tidak
disertai dengan ancaman-ancaman seperti dalam dosa besar.
Namun, harus dipahami bahwa suatu dosa yang asalnya kecil bisa menjadi besar jika dilakukan terus menerus dan dianggap remeh.
Sahabat Nabi Anas bin Malik menyatakan:
لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ اْلإِصْرَارِ
Tidak ada dosa kecil jika dilakukan
secara terus menerus (riwayat ad-Dailamy dan al-Iraqy menyatakan bahwa
sanadnya jayyid (baik))
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ
Hati-hatilah kalian dari dosa yang
diremehkan (dosa kecil) karena dosa itu bisa berkumpul pada seseorang
hingga membinasakannya (H.R Ahmad, atThobarony, al-Baihaqy, dinyatakan
oleh al-Iraqy bahwa sanadnya jayyid (baik),
Majelis Ilmu Menghapus Dosa dan Menggantikan Keburukan Menjadi Kebaikan
Duduk di majelis ta’lim yang di dalamnya
dibahas ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits yang shohih dengan
pemahaman Salafus Sholeh, bisa menyebabkan dosa terampuni. Bahkan
keburukan-keburukan diganti dengan kebaikan.
مَا
مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ اللَّهَ لاَ يُرِيدُونَ بِذَلِكَ
إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُومُوا
مَغْفُورًا لَكُمْ قَدْ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ
Tidaklah suatu kaum berkumpul
mengingat Allah, tidak menginginkan kecuali Wajah-Nya, kecuali akan ada
penyeru dari langit:”Bangkitlah dalam keadaan diampuni,
keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan (H.R Ahmad,
dishahihkan oleh Syaikh al-Albany)
Atha’ bin Abi Robaah –salah seorang tabi’i (murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah) berkata: Barangsiapa
yang duduk di (satu) majelis dzikir, Allah akan hapuskan baginya 10
majelis batil (yang pernah diikutinya). Jika majelis dzikir itu
dilakukan fii sabiilillah, bisa menghapus 700 majelis kebatilan (yang
pernah diikutinya). Abu Hazzaan berkata : Aku bertanya kepada
Atha’ bin Abi Robaah: Apa yang dimaksud dengan majelis dzikir? Atho’
menjelaskan: (majelis dzikir) adalah majelis (yang menjelaskan) halal
dan haram, tentang bagaimana sholat, berpuasa, menikah, thalak, dan jual
beli (Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (3/313), al-Bidayah wanNihaayah karya Ibnu Katsir(9/336)).
Akhlak yang Baik
Para Ulama’ Salaf mendefinisikan akhlaq yang baik, di antaranya :
Al-Hasan al-Bashri mengatakan : “ Akhlaq yang baik adalah dermawan, banyak memberi bantuan, dan bersikap ihtimaal (memaafkan).
AsySya’bi menjelaskan : “ Akhlaq yang baik adalah suka memberi pertolongan dan bermuka manis “
Ibnul Mubaarok mengatakan : “ Akhlaq
yang baik adalah bermuka manis, suka memberi bantuan (ma’ruf) , dan
menahan diri untuk tidak mengganggu/menyakiti orang lain “ (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rajab juz 1 hal 454-457)
Keutamaan akhlaq yang baik banyak disebutkan oleh Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits beliau :
أَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“ Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaqnya “ (H.R Ahmad, Abu Dawud, AtTirmidzi,
al-Hakim dan dishahihkan oleh adz-Dzahaby).
إِنَّ اْلمُؤْمِنَ لَيُدْركُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَاتِ الصَّائِمِ وَاْلقَائِمِ
“ Sesungguhnya seorang mukmin dengan
kebaikan akhlaqnya bisa mencapai derajat orang-orang yang (banyak)
berpuasa dan (banyak) melakukan qiyamullail “ (H.R Ahmad, Abu Dawud, dan
al-Hakim, dishohihkan oleh adz-Dzahaby)
أَكْثَر مَا يُدْخِلُ اْلجَنَّةَ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ اْلخُلُقِ
“(Hal) yang paling banyak memasukkan
orang ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik
“(H.R Ahmad, AtTirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al-Albany )
أَنَا زَعِيْمُ بَيْتٍ فِي أَعْلَى اْلجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
“ Aku menjamin rumah di bagian surga
yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaqnya”(H.R Abu Dawud dan
AtThobrooni dan dihasankan oleh Syaikh al-Albany)
Kamis, 09 Mei 2013
Rukun Islam (Bag II)
Hadits-hadits shahih dari Rasulullah,
apa yang disebutkan oleh para penulis sirah (riwayat) Nabi, sejarawan,
dan orang-orang yang terpercaya pengetahuannya tentang keadaan umat-umat
(bangsa-bangsa) menunjukkan bahwa penduduk bumi sebelum Nabi diutus,
menganut kesyirikan yang beragam, di antara mereka ada yang menyembah
berhala, ada yang menyembah orang-orang yang sudah mati, ada yang
menyembah matahari, bulan, bintang-bintang dan sebagainya.
Setelah itu Rasulullah mendakwahi mereka
untuk menyembah hanya kepada Allah dan meninggalkan kebathilan yang
tadinya mereka dan nenek moyang mereka menyembah kepadanya, sebagaimana
firman Allah:
قُلْ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ
يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ
الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah: ‘Hai manusia sesungguhnya
aku adal;ah utusan Allah kepada kalian semua, yaitu Allah Yang memiliki
kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang menghidupkan
dan mematikan, maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya
seoorang Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimatNya
dan ikutilah dia, agar kalian mendapat petunjuk.” QS. Al-A’raf: 158)
Allah berfirman:
الر
ۚ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ
إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Alif laam raa. (Ini adalah) Kitab yang
kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan
kepada cahaya dengan izin Tuhan mereka kepada jalan Tuhan Yang Maha
Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 1)
Allah berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا
وَنَذِيرًا () وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا
“Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu
sebagai saksi, pembawa berita gembira, dan pembawa peringatan. Serta
sebagai penyeru kepada Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya
yang menerangi.” (QS. Al-Ahzab: 45-46)
Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“padahal mereka tidaklah diperintahkan
kecuali agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan pada-Nya
dalam agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia sembahlah Tuhan kalian
yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian semoga
kalian bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)
Firman Allah:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
“Dan Tuhanmu menetapkan agar kalian tidak menyembah selain kepada-Nya…” (QS. Al-Isra’: 23)
Allah telah menjelaskan dalam banyak
ayat bahwa kaum musyrikin walau dengan kesyirikan dan kekafirannya,
mereka tetap mengakui bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemberi rizekibagi
mereka. Sedangkan ibadah mereka kepada selain-Nya hanyalah sebagai
wasilah (perantara) antara mereka dengan Allah, sebagaimana pada firman
Allah yang lalu:
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ ۚ
“Dan mereka menyembah selain Allah apa
yang tidak memudharatkan dan tidak pula memberikan mereka manfaat, serta
mereka berkata: ‘Merekalah (berhala-berhala) para pemberi syafa’at bagi
kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus:18)
Dan ayat-ayat lain yang semakna, di antaranya firman Allah:
قُلْ
مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ
الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ
اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi
kalian rizeki dari langit dan bumi atau Siapakah yang mnguasai
pendengaran dan penglihatan, Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, serta Siapakah
yang mengatur segala urusan ? maka mereka akan menjawab: ‘Allah’. Maka
katakanlah: ‘Maka tidaklah kalian (mau) bertaqwa?!.” (QS. Yunus: 31)
Dan firman-Nya:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu tanyakan mereka
siapa yang menciptakan mereka, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’,
maka mengapa mereka dapat dipalingkan (dari hanya menyembah Allah).”
(QS. Az-Zukhruf: 87)
Dan banyak ayat lain yang sangat jelas dengan makna yang sama.
(Syarah kitab AD-Durus Al-Muhimmah oleh Muhammad bin Ali)
Rukun Islam (Bag I)
Berkata Syaikh Ibnu Baz:
Penjelasan tentang lima rukun Islam.
Yang pertama dan merupakan rukun yang paling agung, yaitu syahadat
(persaksian) bahwa tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul
Allah. Diikuti dengan penjelasan makna dan syarat-syarat
Laailahaillallah.
Makna Laailaha (tiada ilah): meniadakan
semua yang disembah selain Allah, ilallah (kecuali Allah): menetapkan
ibadah hanya untuk Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya.
Syarat Laailahaillallah ialah: ilmu yang
menghilangkan kebodohan, keyakinan yang menghilangkan keraguan, ikhlas
yang menghilangkan syirik, kejujuran yang menghilangkan kebohongan,
cinta yang menghilangkan kebencian, ketaatan yang menafikan
pembangkangan, menerima yang menafikan penolakan, serta mengingkari apa
yang disembah selain Allah.
Semua syarat di atas terkumpul dalam dua bait berikut:
“Ilmu, yakni, ikhlas, kejujuran,
Bersama cinta, taat, dan menerima.
Ditambah untuk yang kedelapan dengan pengingkaranmu terhadap sesuatu yang bukan ilah dan telah dipertuhankan.”
Beserta penjelasan tentang syahadat
(persaksian) bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Tuntutannya ialah
membenarkan apa yang Beliau kabarkan, menaati apa yang beliau
perintahkan, manjauhi apa yang beliau larang, dan tidak menyembah Allah
kecuali dengan syarat (ajaran) Allah dan Rasul-Nya.
Lalu penjelasan bagi penuntut ilmu
tentang rukun-rukun yang lain dari lima rukun tadi, yaitu: shalat,
zakat, puasa di bulan Ramadhan dan berhaji ke baitil-haram bagi yang
mampu melakukannya}.
Mengenal Islam
Al-Islam berarti penyerahan diri kepada
Allah dengan bertauhid, tunduk dengan melakukan ketaatan, dan melepaskan
diri dari syirik dan kaum musyrikin. Dulu syirik merupakan akidah
bangsa Arab sebelum tampak dakwah Nabi Muhammad. Imam Bukhary
meriwayatkan dari Abu Raji’ Al-Aththaridy, ia berkata: “Dulu kami
menyembah batu, maka jika kami mendapatkan batu yang lebih baik dari
yang sebelumnya, kami membuang yang lalu dan mengambil yang baru itu,
sedangkan jika kami tidak mendapatkan batu maka kami mengumpilkan
gumpalan tanah lalu kami mengambil seekor kambing yang kami perah
susunya untuk tanah itu kemudian kami melakukan tawaf padanya.”
Adapun keadaan ummat (bangsa) lain
secara umum sebelum tampak dakwah Nabi, maka Al-Quran telah
menjelaskannya di dalam banyak ayat, di antaranya:
Firman Allah:
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ ۚ
“Dan mereka menyembah selain Allah apa
yang tidak memudhoratkan dan tidak pula memberikan mereka manfaat, serta
mereka berkata: ‘Merekalah (berhala-berhala) para pemberi syafa’at bagi
kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18)
Dan firman Allah:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
“Dan orang-orang yang mengambil selain
Allah sebagai perlindungan, (mereka berkata:) ‘Kami tidak menyembah
mereka selain agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya’.” (QS. Az-Zumar:3)
Dan firman Allah:
إِنَّا
جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ ,
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا
وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا ۗ قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ
بِالْفَحْشَاءِ ۖ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan
setan-setan sebagai pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak
beriman. Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji (syirik, tawaf
telanjang disekeliling ka’bah dan sebagainya), mereka berkata: ‘Kami
mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu dan Allah
menyuruh kami melakukannya’. Katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah tidak
memerintahkan kekejian, mengapa kalian mengada-adakan terhadap Allah apa
yang kalian tidak ketahui?’(QS. Al-A’raf: 27-28)
إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ
“Sesungguhnya mereka mengambil
setan-setan sebagai pemimpin selain Allah dan mereka menyangka merekalah
orang-orang yang terpetunjuk.” (QS. Al-A’raf: 30)
Dan firman Allah:
وَجَعَلُوا
لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا
هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَٰذَا لِشُرَكَائِنَا ۖ فَمَا كَانَ
لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ
يَصِلُ إِلَىٰ شُرَكَائِهِمْ ۗ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah
satu bahagian dari tanaman dan ternak yang diciptakan Allah, lalu mereka
berkata sesuai dengan persangkaan mereka: ‘Ini untuk Allah dan ini
untuk berhala-berhala kami.’ Lalu sesajian yang diperuntukkan bagi
berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah, sedangkan sesajian
yang diperuntukkan bagi Allah sampai kepada berhala-berhala mereka.
Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (QS. Al-An’am: 136)
Ayat-ayat dengan makna yang sama sangatlah banyak…..(Insya Allah Bersambung)
(Di Ambil dari buku Syarah Ad Durusil Muhimmah li Ammatil Ummah, Cahaya Tauhid Press)
Rukun Islam (Bag III)
Rukun Pertama dari Rukun-Rukun Islam
Syahadat:
persaksian bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul utusan Allah.
Pembahasan Laa ilaaha illallah:
a. Makna Syahadat
b. Kedudukan
c. Keutamaannya
d. Rukun-rukun syahadatain
e. Syarat-syarat
f. Bekas-bekasnya
pembahasan
sesungguhnya kalimat tauhid yang agung
mengandung makna-makna yang agung dan mulia dan tidak akan ada seorang
hamba yang sanggup mengamalkan tuntutan kalimat itu kecuali setelah ia
memahami makna-makna tersebut dan menguasainya. Hal itu agar dia
mengamalkan kalimat Laa ilaaha illallah atas dasar ilmu dab hujjah yang
nyata. Kalimat tauhid ini disebutkan lebih dari tiga puluh kali dalam
Kitab Allah.
a. Makna Syahadat Laa ilaha illallah
syahadat menurut bahasa: pemberitahuan tentang apa yang diketahui dan diyakini kebenarannya dengan pasti.
Syahadat menurut syariat: pengakuan,
pembenaran, dan keyakinan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali
Allah tiada sekutu bagi-Nya. Jadi, makna laa ilaaha illallaah ialah
keyakinan dan pengakuan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali
Allah lalu berkomitmen dengannya dan mengamalkan tuntunannnya. Maka
beribadah hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya itulah makna
laa ilaaha illallaah. Allah berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ
“Ilmuilah, bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Maksudnya, ketahuilah bahwa Dia berhak
untuk disembah, tidak ada penyembahan untuk selain-Nya, sebab Dialah
satu-satunya yang berhak untuk disembah dan Dialah Rabb yang sebenarnya
yang tiadalah pantas melakukan ibadah kepada selain-Nya.
Hadits-hadits shahih dan ijma’ umat
menunjukkan bahwa dua kalimat syahadat (laa ilaaha illallah wa anna
Muhammadan Rasulullah) merupakan rukun islam yang pertama, di atasnya
didirikan amalan dan tidak diterima suatu amalan dan tidak diterima
suatu amal tanpa keduanya. Para imam ahli hadits meriwayatkan bahwa
Rasulullah bersabda:
“Islam didirikan atas lima (rukun):
Syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, serta haji bagi
yang mampu melakukannya.”
Jika kita perhatikan lima rukun islam
ini, maka kita akan mendapatkan bahwa setiap rukun berhubungan erat
dengan sendi-sendi yang penting bagi manusia, dan setiap rukun mempunyai
keistimewaan yang kesemuanya membentuk tiang kuat bagi bangunan Islam
sebagai tujuan orang beriman.
- Kalimat syahadat, ia sangat menarik hati dan tampak bekasnya pada anggota tubuh, shalat berhubungan dengan seluruh anggota tubuh ditambah lagi bahwa ia penghubung yang kuat antara hamba dan Penciptannya.
- Pembayaran zakat dari orang kaya kepada faqir miskin yang berfungsi mempererat hubungan dengan sesama manusia.
- Disyariatkan puasa untuk mensucikan serta membuat ruh dan jiwa berkilau. Manusia tersusun dari ruh dan jasmani serta kesucian dan syahwat. Jika manusia hanya memperhatikan jasmaninya lalu tidak memperdulikan ruhnya maka akan membuatnya jauh dari Allah.
- Setelah hati penuh dengan iman (syahadatain), anggota tubuh takut kepada Allah (shalat), dan diletakkan harta pada tempat yang diinginkan Allah (zakat).
- Maka datang fungsi penguat hubungan internasional antara dunia islam melalui muktamar Islam terbesar, yaitu haji yang manusia mendatanginya dari segala penjuru yang jauh.
Bisa juga dikatakan bahwa kalimat
Syahadat adalah ujian bagi hati, shalat ujian bagi anggota tubuh dan
sejauh mana kemampuan hamba untuk mengatur diri dan waktunya, zakat
ujian manusia dalam urusan hartanya, puasa ujian tentang sejauh mana
kemampuannya untuk meninggalkan syahwat demi Penciptanya, dan haji ujian
tentang sejauh mana kemampuannya untuk memikul beban berat dan
kelelahan perjalanan di atas jalan Allah.
b. Kedudukan Laa ilaaha illallah
laa ilaaha illallah adalah kalimat yang
dikumandangkanoleh kaum muslimin dalam adzan, iqamah, khutbah, dan
pembicaraan mereka. Karena kalimat ini: bumi dan langit ditegakkan,
semua makhluk diciptakan, Allah mengutus rasul-rasul-Nya, menurunkan
kitab-kitab-Nya, menetapkan syari’at-Nya, ditegakkan timbangan dengan
adil, diletakkan kitab kumpulan hukum, berdiri pasar surga dan neraka,
dan karenanya makhluk terbagi menjadi dua; mukmin dan kafir.
Tauhid ialah asas penciptaan, perintah,
balasan pahala, dan siksaan. Dialah kebenaran yang diciptakan untuk dan
dari para makhluk. Dari hak-haknya timbul pertanyaan ddan perhitungan
(di akherat), sebabnya terjadi pahala dan siksaan, atasnya ditegakkan
kiblat dan agama, karenanya dilepaskan pedang jihad dari sarungnya.
Tauhid merupakan hak Allah atas semua
hamba, dia kalimat islam, kunci Darussalam (surga), tentangnya akan
ditanyakan orang-orang yang pertama dan terakhir, maka takkan tetap
kedua kaki hamba di hadapan Allah hingga ditanya tentang dua masalah:
Siapa yang dulu kalian sembah? Apa tanggapanmu terhadap para rasul?
Jawaban soal pertama ialah dengan merealisasikan Laa ilaaha illallah
(Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah) dengan pengetahuan,
ikrar, dan amal, sedangkan jawaban bagi soal kedua ialah dengan
merealisasikan Anna Muhammadar Rasulullah (Sesungguhnya Muhammad adalah
utusan Allah) dengan pengetahuan, tunduk, dan taat.
Kalimat ini, pemisah antara kekafiran
dan islam, dialah kalimat taqwa, tali pegangan yang sangat kuat, dan
kalimat yang Nabi Ibrahim menjadikannya sebagai kalimat yang kekal
(wasiat) buat keturunannya, sebagaimana firman Allah:
وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan Ibrahim menjadikan kalimat tauhid
itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada
kalimat tauhid itu.” (QS. Az-Zukhruf: 28)
Tauhid inilah yang Allah persaksikan untuk diri-Nya, juga turut mempersaksikannya para malaikat dan ulama, Allah berfirman:
شَهِدَ
اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو
الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ
“Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
ahli ilmu (juga bersaksi dengan demikian itu). Tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Ali Imran: 18)
c. Keutamaan Laa ilaaha illallah
kalimat tauhid memiliki keutamaan yang
agung dan kedudukan yang tinggi, barangsiapa yang mengucapkannya dengan
sebenarnya maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, barangsiapa
yang mengatakannya secara dusta maka terpelihara darah dan hartanya di
dunia namun di akherat perhitungannya di sisi Allah dan terhukum sebagai
orang munafiq.
Kalimat ini mempunyai keutamaan yang
sangat banyak. Al-Hafidz Ibnu Rajab menyebutkan beberapa keutamaan itu
di dalam kitabnya Kalimatul Ikhlas, diantaranya: ia merupakan bayaran
surga, barangsiapa yang akhir ucapannya Laa ilaaha illallah maka dia
akan masuk surga, ia keselamatan dari neraka, menyebabkan ampunan,
sebaik-baik kebaikan, penghapus dosa-dosa, kalimat ini merobek hijab
hingga ia sampai kepada Allah, ia kalimat yang Allah benarkan orang yang
mengucapkannya, ia ucapan terbaik dari para nabi, sebaik-baik dzikir,
amalan paling utama dan paling dilipat-gandakan, membandingi pahala
memerdekakan budak, penjaga dari setan, mengamankan dari ketakutan
padang mahsyar, syiar kaum mukmin tatkala bangkit keluar dari kuburnya.
Di antara keutamaannya, ia membuka
delapan pintu surga untuk orang yang mengucapkannya hingga ia masuk dari
mana yang ia sukai, orang yang memilikinya walau masuk neraka sebab
kelalaiannya dalam melaksanakan hak-hak kalimat tauhid tapi mereka akan
keluar daripadanya.
Inilah inti-inti keutamaan yang
disebutkan Ibnu Rajab dalam kitabnya Kalimatul Ikhlas halaman 54-66, dan
beliau mengemukakan dalil untuk masing-masingnya.
(Syarah kitab AD-Durus Al-Muhimmah oleh Muhammad bin Ali)
Langganan:
Komentar (Atom)

