Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati
Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari
Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.
Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1
Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan
dalam syari’at Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin
Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang
permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka
pada masa ini.
Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan
hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari
pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari
libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu.
Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika
mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah
perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak
mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira
dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan
berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini
termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada
engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam
timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
24/1/1418 H
Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu,
atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka
kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh
karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke
Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang
mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari
ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira
padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari
tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul
Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat
kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian
penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan
ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun
(hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti
kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan
penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan
Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.
Ditulis oleh :
Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn
24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Para pembaca sekalian,
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam
dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena
syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu
‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan
orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru
Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan
memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum
muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun
mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru
Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran
sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun
Baru Islam.
Wallâhu a’lam bish shawâb
"Dan hendaklah diantara kamu ada (segolongan) umat yang menyeru kepada yang makruf (kebaikan) dan mencegah yang munkar"
Jumat, 14 Juni 2013
Selasa, 11 Juni 2013
Risalah Untuk Imam Masjid
Muqoddimah
Saudaraku kaum muslimin, berikut ini
adalah contoh surat seseorang kepada Imam Masjid. Surat tersebut dibuat
karena pelaksanaan sholat berjamaah di masjid dirasa terlalu cepat.
Makmum sering ketinggalan dalam membaca AlFatihah (padarokaat yang
tidakdibacakeras). Mereka juga ketinggalan pada gerakan ruku’ dan
sujud, karena Imam hanya sekedar mengejar batas minimum thuma’ninah :
membaca tasbih 1x.
Kebetulan, Imam masjidnya bacaannya
Qurannya bagus, dan bermadzhab Asy-Syafi’i, seperti kebanyakan Imam
masjid yang lain di Indonesia. Sehingga, dinukilkan beberapa pendapat
Ulama yang dijadikan rujukan, seperti Imam AnNawawi, Ibnul Mubarak, dan
al-Hasan al-Bashri.
Isi surat tersebut telah di
modifikasi dengan menghilangkan identitas tempat tertentu, sehingga
mungkin bisa sebagai rujukan umum untuk dihidangkan pada Imam-imam di
masjid yang lain yang kondisinyasama.Baarakallaahufiikum…
Isi SuratnyaadalahSebagaiberikut:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعين
Al-‘afwuminkum, Ustadz….
Surat ini sekedar sebagai media untuk
semakin memperkokoh ukhuwah dan persaudaraan di antarakita. Kebetulan,
saya merasa lebih nyaman jika bisa menyampaikannya dengan leluasa
melalui tulisan ini.
Sebelumnya saya mohon maaf jika ada kata-kata yang dirasa kurang berkenan, semoga Allah SubhaanahuWaTa’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan ampunanNya kepada kita semua…
Alhamdulillah, saya bersyukur kepada
Allah karena Ustadz sebagai Imam di masjid di desa kita. Dalam salah
satu sisi, bacaan Quran Ustadz adalah bacaan yang baik, tepat, dan benar
yang bisa menghantarkan kekhusyukan para Jama’ah, sebagai suatu nikmat
dari Allah SubhaanahuWaTa’ala.
Tidak semua masjid atau musholla Imamnya bacaannya benar. Kadang kala bacaan Imam tidak tepat makhraj atau panjang pendeknya. Tapi Alhamdulillah, Imam masjid kami tidak seperti itu, bi ‘aunillahwarohmatihi…
Bagi saya dan sebagian saudara kita, mengikuti sholat berjamaah yang suasananya nyaman, khidmat, khusyu’ dan tenang adalah suatu kebutuhan. Kami ingin menikmati ibadah sholat berjamaah tersebut. Sebagaimana Nabi menyatakan:
وَجُعِلَتْقُرَّةُعَيْنِيفِيالصَّلَاةِ (رواه أحمد والنسائي)
“dan dijadikan penyejuk jiwaku dalam sholat” (H.R Ahmad dan anNasaai)
Namun, seringkali kami merasa sholat
yang kami ikuti terlalu cepat. Mungkin karena kami masih dangkal
keilmuannya. Butuh lebih banyak waktu untuk meresapi dan merasukkan
makna bacaan sholat dalam sanubari kami. Beda dengan Ustadz yang sudah
demikian mahir dalam bahasa Arab, bacaan cepat pun sudah bisa menghantar
pada kekhusyukan, sudahmembekas dalam hati dan menjadi asupan jiwa yang
menenangkan.
Kami, atau mungkin hanya saya, sering
keteteran jika membaca AlFatihah, khususnya untuk rokaat-rokaat yang
Imam tidak membacanya dengan keras. Sering kali saat saya masih sampai
bacaan : Maalikiyaumiddin, sudah terdengar takbir untuk beranjak menuju ruku’.
Belum sempat saya menyelesaikan bacaan AlFatihah tersebut secara
sempurna. Padahal, di AlFatihah itulah, kesempatan kami untuk
bermunajat, berbisik, menghaturkan pujaan, ketegasan komitmen sebagai
mukmin, dan permohonan kepada Allah. Namun, justru kami sering
ketinggalan. Bukankah AlFatihah adalah komunikasi kita dengan Allah?Kita
berbisik, Allah menjawab seruan kita?
Dalam hadits Qudsi, melalui lisan Rasul-Nya, Allah menyatakan:
“Akumembagi as-sholaah (AlFatihah)
antara diri Ku dengan hamba Ku menjadi 2 bagian. Jika seorang hamba
mengucapkan : AlhamdulillahiRobbil ‘Aalamiin, Allah menyatakan:
hambaku telahmemujiKu. Jika hamba mengucapkan : ArRohmaanirrohiim, Allah
menyatakan : hambaku memujaKu (berulang memujiKu). Jika hamba
mengatakan : Maalikiyaumiddin, Allah menyatakan : hambaKu telah
memulyakan Aku, di saat lain Allah menyatakan : hambaku telah
menyerahkan (urusannya) kepadaKu. Jika hamba mengucapkan:
Iyyaakana’buduwaiyyaakanasta’iin, Allah menyatakan : ini adalah bagian
antara diriKu dengan hambaKu, bagi hambaku apa yang ia minta. Jika hamba
mengucapkan : IhdinasshirootholMustaqiim, shirootholladziinaan’amta
‘alaihim, ghoirilmaghdhuubi ‘alaihimwalad-dhoo-lliin, Allah menyatakan :
ini untuk hambaKu, bagi hambaKu apa yang iaminta”(H.R Muslim).
Bagi kami yang masih dangkal keilmuannya
ini, butuh minimal sekitar 15 detik untuk menyelesaikan bacaan
AlFatihah dengan menghayati maknanya. Sehingga saya mohon kepada Ustadz
sebagai Imam untuk memberikan kesempatan kepada kami para makmum agar
tidak ketinggalan dalam membaca AlFatihah, sehingga bisa
menyelesaikannya dengan sempurna.
Demikian juga dengan gerakan ruku’ dan sujud kami juga sering keteteran dan ketinggalan. Memangkadar minimal thuma’ninah sudah
terpenuhi, namun kadar minimal kesempurnaan tasbih belum terpenuhi.
Jumlah minimal bacaan tasbih yang sempurna adalah 3 kali. Al-Imam
AnNawawy Asy-Syafi’i menyatakan:
قال
أصحابنا يستحب التسبيح في الركوع ويحصل أصل السبحة بقوله سبحان الله أو
سبحان ربي وأدنى الكمال أن يقول سبحان ربى العظيم ثلاث مرات فهذا أدنى
مراتب الكمال (المجموع شرح المهذب ج 3 ص 413)
Para Sahabat kami (asy-Syafi’iyah)
berkata: disukai tasbih pada waktu ruku’, dan tercukupi asal kalimat
tasbih dengan ucapan: Subhaanallah atau SubhaanaRobbi, dan kesempurnaan
yang paling rendah adalah mengucapkan Subhaana Robbiyal ‘Adzhim 3 kali,
maka ini adalah tingkatan kesempurnaan yang paling rendah (lihatKitab
al-Majmu’ SyarhulMuhadzdzabjuz 3 halaman 413).
Dalam Syarh Sunan Ibnu Majah (yang salah seorang penulisnya adalah Imam As-Suyuthi) dinyatakan :
وروي
عن بن المبارك أنه قال يستحب للامام ان يسبح خمس تسبيحات لكي يدرك من خلفه
ثلاث تسبيحات (شرح سنن ابن ماجة 1-64 للسيوطي , عبد الغني وفخر الحسن
الدهلوي)
Dan diriwayatkan dari Ibnul Mubaarok
bahwasanya ia berkata : disukai bagi Imam untukbertasbih 5 kali
(dalamruku’ dan sujud) agar orang yang di belakangnya bisa membaca 3
kali tasbih (SyarhSunanIbnuMajahjuz 1 halaman 64 karya As-Suyuthy, Abdul
Ghony, danFakhrulHasan ad-Dahlawy).
Al-Hasan al-Bashri juga menyatakan:
التَّامُّ مِنَ السُّجُودِ ، قَدْرُ سَبْعِ تَسْبِيحَاتٍ ، وَالْمُجْزِئُ ثَلاَثٌ
Yang terhitung sempurna dalam sujud
adalah kadar (ucapan) 7 tasbih, dan yang mencukupi adalah 3 kali “
(diriwayatkanolehIbnuAbiSyaibahdalamMushonnafnya)
Ibnu Rajab menyatakan:
وقال
بعض أصحابنا يكره للإمام أن ينقص عن أدنى الكمال في الركوع والسجود ، ولا
يكره للمنفرد ؛ ليتمكن المأموم من سنة المتابعة (فتح الباري لابن رجب 5-63)
Sebagian Sahabat kami menyatakan :
dimakruhkan bagi Imam untuk mengurangi (jumlah bacaan tasbih) daribatas
minimum kesempurnaan pada waktu ruku’ dan sujud, tidak dimakruhkan bagi
orang yang sholatsendirian, (hal yang demikian itu) supaya memungkinkan
bagi makmum untuk menjalankan sunnah mutaaba’ah
(mengikutiImam,pent)(Fathul Baari karya Ibnu Rojab juz 5 halaman 63)
Karena itu Ustadz, kami mohon, kiranya
dalam ruku’ dan sujud dalam sholat berjamaah kita, kami bisa membaca
tasbih minimal 3 kali, sehingga terpenuhi batas terendah kesempurnaan.
Demikian Ustadz, apa yang kami sampaikan
ini sekedar harapan dan usulan agar kitabersama-sama bisa
mempersembahkan ibadah yang terbaik di hadapan Allah Ta’ala, yang tiada
daya dan upaya kecuali atas pertolonganNya. Semoga Allah SubhaanahuWaTa’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahNya kepada kita semua.
وصلى الله على نبينا محمد و على أله وأصحابه وسلم, والحمد لله رب العالمين
Senin, 10 Juni 2013
Rukun Islam (Bag IV)
Adapun Rukun Syahadat “Muhammadur-Rasulullah”, maka ada dua:
1. Mengakui kerasulan Muhammad.
2. Meyakini bahwa Beliau hanya hamba, sebagaimana yang Beliau sabdakan:
“Sesungguhnya saya hanyalah hamba, maka sebutlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Maka Beliau tidak boleh diangkat
melebihi derajat ketinggiannya hingga memberikan kepada Beliau suatu
sifat yang khusus bagi Allah, misalnya: meyakini Beliau mengetahui yang
ghaib, memberi manfaat dan memudharatkan, dapat mengabulkan hajat dan
menghilangkan kerusakan.
Allah telah menyebutkan bahwa Beliau sebagai hamba-Nya di tempat-tempat termulia sebagai berikut:
a. Pada penurunan Al-Qur’an
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ
“Maha Suci Allah Yang menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya.” (QS. Al-Furqan: 1)
b. Isra’
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ
“Maha Suci Allah Yang memperjalankan hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 1)
c. Ketika shalat dan berdoa:
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
“Dan bahwasanya tatkala berdiri hamba Allah menyeru-Nya.” (QS. Al-Jin: 19)
d. Saat terlindungi dan tercukupi:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“Bukankah Allah Yang mencukupi hamba-Nya?” (QS. Az-Zumar: 36)
Sungguh Allah telah memuliakan Nabi
Muhammad, mengaruniakan baginya nikmat yang banyak dan sifat-sifat yang
agung, di mana dengan semua itu Allah mengangkat derajatnya dan
meninggikan kedudukannya di antara seluruh makhluk, di antaranya:
a. Beliau disebut beserta para Nabi di dalam wahyu, firman Allah:
إِنَّا
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن
بَعْدِهِ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ
وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَىٰ وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ
وَسُلَيْمَانَ ۚ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
“Sesungguhnya Kami telah mewahyukan
kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan Nabi-nabi
sesudahnya. Dan Kami wahyukan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan
anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun, Sulaiman, serta Kami telah
memberikan kepada dawud kitab Zabur.” (QS. An-Nisaa: 163)
b. Beliau penutup para Nabi:
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Tidaklah Muhammad itu bapak salah seorang kalian, melainkan dia adalah penutup para Nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)
c. Beliau muslim pertama:
إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ
“Saya diperintahkan untuk menjadi orang yang pertama berislam.” (QS. Al-An’am: 14)
d. Di antara keagungan derajatnya,
orang-orang mukmin mendahulukan Beliau atas diri mereka sendiri, dan
istri-istri Nabi menjadi ibu orang-orang beriman:
النَّبِيُّ
أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ
أُمَّهَاتُهُمْ ۗ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي
كِتَابِ اللَّهِ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang
beriman dari diri mereka sendiri, dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu
mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darahsatu sama lain
lebih berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah.” (QS. Al-Ahzab: 6)
e. Pemberi syafa’at yang diizinkan Allah
pada hari mahsyar, Beliau nabi pembawa rahmat, makhluk terbaik,
dakwahnya mencakup dua alam (manusia dan jin), pemimpin anak cucu Adam,
dan Beliau Nabinya islam.
e. Syarat-syarat Laa ilaaha illallah
Para ulama menyebutkan bahwa kalimat
ikhlas atau tauhid mempunyai tujuan syarat dan sebagian menyatakan
delapan dan sebagian menyusunnya dalam ucapan:
“Ilmu, yaqin, ikhlas dan kejujuranmu beserta
Cinta, tunduk, dan menerimanya ditambah dengan kedelapannya pengingkaran darimu dengan apa
yang selain Allah berupa berhala yang telah dipertuhankan.”
1. Ilmu
Jika seorang hamba sudah mengetahui
bahwa hanya Allah yang patut disembah dan penyembahan kepada selain-Nya
merupakan kebatilan serta ia beramal dengan tuntutan kalimat tauhid itu,
maka ia telah berilmu akan makna kalimat tauhid. Allah berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Ilmuilah bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Allah berfirman:
إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Kecuali yang menyaksikan dengan benar sedang mereka mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang mati sedang dia mengilmui bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah maka dia akan masuk surga.”
2. Yakin
Wajib bagi orang yang mengikrarkannya
untuk meyakini sepenuh hatinya dan meyakini akan kebenaran apa yang dia
lafazkan bahwa hanya Allah yang berhak dengan ketuhanan sedangkan
ketuhanan selain-Nya adalah batil. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
“Dan orang-orang yang beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu juga mereka
yakin pada hari akhir.” (QS. Al-Baqarah: 4)
Dari abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda:
“Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang
berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya saya utusan Allah.
Tidaklah seorang hamba menemui Allah membawa kalimat ini tanpa ragu
kepadanya kecuali dia pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda kepadanya:
“Siapa saja yang kamu temui di belakang
dinding ini yang bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain
Allah dan hatinya yakin pada kalimat ini maka berilah ia berita gembira
dengan surga.” (HR. Muslim)
Allah menyifati kaum mukmin:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya hanyalah (termasuk)
orang-orang beriman, orang-orang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya
lalu mereka tidak ragu.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Artinya: tidak ragu, bahkan mereka yakin
dengan sesempurna keyakinan. Adapuun orang yang ragu maka termasuk
orang yang munafik, sebagaimana firman Allah:
إِنَّمَا
يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“Hanyalah yang meminta izin kepadamu
ialah mereka yang tidak beriman pada Allah dan Hari Akhir serta hati
mereka ragu lalu mereka berbolak-balik dalam keraguannya.” (QS.
At-Taubah: 45)
(Syarah kitab AD-Durus Al-Muhimmah oleh Muhammad bin Ali)
Jumat, 07 Juni 2013
Iringi Keburukan Dengan Kebaikan
(Syarh Hadits Ke-18 Arbain anNawawiyyah)
عَنْ
أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ
بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ
السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ
حَسَنٍ.[رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح]
Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan
Abu ‘Abdurrahman, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah
sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan
bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik”.
[HR. Tirmidzi, ia telah berkata: Hadits ini hasan, pada lafazh lain derajatnya hasan shahih]
[HR. Tirmidzi, ia telah berkata: Hadits ini hasan, pada lafazh lain derajatnya hasan shahih]
Sedikit Penjelasan tentang Sahabat yang Meriwayatkan Hadits
Abu Dzar al-Ghiffary berasal dari
Ghiffaar (jalur yang dilewati penduduk Makkah jika akan berdagang ke
Syam) , nama aslinya Jundub bin Junaadah adalah orang ke-5 yang masuk
Islam saat Nabi masih berada di Makkah dan berdakwah secara sembunyi.
Beliaulah orang pertama yang mengucapkan salam secara Islam kepada Nabi.
Selama masa mencari Nabi di Makkah beliau tinggal di dekat Ka’bah
selama 15 hari tidak makan dan minum apapun kecuali air zam-zam hingga
menjadi gemuk. Setelah bertemu Nabi dan masuk Islam beliau kembali pada
kaumnya, mengajarkan Islam kepada mereka, dan tinggal di sana. Setelah
perang Uhud, barulah Abu Dzar bisa menyusul Nabi hijrah ke Madinah.
Sedangkan Muadz bin Jabal adalah Sahabat
Nabi yang paling mengetahui tentang halal dan haram (H.R Ibnu Hibban).
Nabi juga memerintahkan untuk mengambil (ilmu) al-Quran dari 4 orang,
yaitu : Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal dan Salim maula Abi
Hudzaifah(H.R al-Bukhari). Muadz bin Jabal juga diutus Nabi ke Yaman
untuk berdakwah di sana.
PENJELASAN UMUM MAKNA HADITS
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam memberikan bimbingan dalam 3 hal:
- Bertakwa kepada Allah di manapun kita berada. Di waktu sendirian maupun di tengah keramaian. Di setiap waktu dan tempat.
- Jika suatu ketika kita melakukan dosa, susulkanlah / iringi dengan banyak perbuatan ibadah dan kebaikan, agar bisa menghapus dosa itu.
- Bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik
Definisi Taqwa
Thalq bin Habiib(seorang Tabi’i, salah satu murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas) menjelaskan definisi taqwa: “Amalan
ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan mengharap
pahala Allah dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah
berdasarkan cahaya dari Allah dengan perasaan takut dari adzab Allah”.
Banyak para Ulama’ yang memuji definisi
ini di antaranya al-Imam adz-Dzahaby, kemudian beliau mensyarah
(menjelaskan) maksud dari definisi tersebut dalam Siyaar A’laamin Nubalaa’ (4/601)
Beberapa poin penting dari definisi taqwa menurut Thalq bin Habiib tersebut:
- Taqwa adalah amalan ketaatan kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
Taqwa harus berupa amal perbuatan, tidak cukup hanya dalam hati atau ucapan saja.
- Taqwa harus didasarkan cahaya dari Allah, yaitu ilmu syar’i dan ittiba’ (mengikuti Sunnah Nabi).
Tidak mungkin seseorang bisa bertakwa
kepada Allah tanpa ilmu. Dengan ilmu ia akan tahu mana hal-hal yang
diperintah Allah (wajib atau sunnah), yang dilarang Allah (haram atau
makruh), dan mana yang boleh dikerjakan (mubah).
Seseorang bisa beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
- Taqwa harus didasari keikhlasan melakukannya karena Allah bukan karena tendensi yang lain. Ia jalankan ketaatan karena mengharap pahala Allah, dan ia tinggalkan kemaksiatan karena takut dari adzab Allah.
Iringilah Perbuatan Dosa dengan Kebaikan-Kebaikan Niscaya akan Menghapus Dosa Tersebut
Amal ibadah yang dikerjakan dengan
ikhlas dan sesuai dengan Sunnah Rasul selain menambah pahala juga bisa
menghapus dosa sebelumnya. Di antaranya adalah sholat, puasa, shodaqoh,
umrah, amar ma’ruf nahi munkar, duduk di majelis ta’lim, dan semisalnya.
الصَّلَوَاتُ
اْلخَمْسُ وَاْلجُمُعَةُ إِلَى اْلجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ
مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَ اْلكَبَائِر (رواه مسلم)
“ (antara) sholat lima waktu (yang
satu dengan berikutnya), Jumat dengan Jumat, Romadlon dengan Romadlon,
sebagai penghapus dosa di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan “
(H.R Muslim)
فِتْنَةُ
الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَنَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ
يُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلَاةُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
Fitnah yang dialami seorang laki-laki
pada keluarga, harta, diri, dan tetangganya dihapuskan oleh puasa,
sholat, shodaqoh, dan amar ma’ruf nahi munkar (H.R Muslim)
Namun, yang bisa dihapus dengan
perbuatan-perbuatan baik (ibadah) itu adalah untuk dosa-dosa kecil saja,
sedangkan dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat nashuha. Syarat
taubat nashuha adalah bertaubat dengan ikhlas karena Allah semata,
menyesal secara sungguh atas perbuatannya, meninggalkan perbuatan
maksiat tersebut, bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi
selama-lamanya, dan jika terkait dengan hak hamba Allah yang lain, ia
harus meminta maaf (minta dihalalkan).
Apa perbedaan dosa besar dengan dosa
kecil? Dosa besar adalah segala macam perbuatan atau ucapan yang
dilarang dan dibenci Allah dan diancam dalam dalil-dalil alQuran atau
hadits dengan adzab neraka, laknat Allah, kemurkaan Allah, tidak akan
masuk surga, tidak termasuk orang beriman, Nabi berlepas diri dari
pelakunya, atau dosa yang ditegakkan hukum had di dunia, seperti
membunuh, berzina, mencuri, dan semisalnya. Sedangkan dosa kecil adalah
sesuatu hal yang dibenci atau dilarang Allah dan Rasul-Nya namun tidak
disertai dengan ancaman-ancaman seperti dalam dosa besar.
Namun, harus dipahami bahwa suatu dosa yang asalnya kecil bisa menjadi besar jika dilakukan terus menerus dan dianggap remeh.
Sahabat Nabi Anas bin Malik menyatakan:
لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ اْلإِصْرَارِ
Tidak ada dosa kecil jika dilakukan
secara terus menerus (riwayat ad-Dailamy dan al-Iraqy menyatakan bahwa
sanadnya jayyid (baik))
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ
Hati-hatilah kalian dari dosa yang
diremehkan (dosa kecil) karena dosa itu bisa berkumpul pada seseorang
hingga membinasakannya (H.R Ahmad, atThobarony, al-Baihaqy, dinyatakan
oleh al-Iraqy bahwa sanadnya jayyid (baik),
Majelis Ilmu Menghapus Dosa dan Menggantikan Keburukan Menjadi Kebaikan
Duduk di majelis ta’lim yang di dalamnya
dibahas ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits yang shohih dengan
pemahaman Salafus Sholeh, bisa menyebabkan dosa terampuni. Bahkan
keburukan-keburukan diganti dengan kebaikan.
مَا
مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ اللَّهَ لاَ يُرِيدُونَ بِذَلِكَ
إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُومُوا
مَغْفُورًا لَكُمْ قَدْ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ
Tidaklah suatu kaum berkumpul
mengingat Allah, tidak menginginkan kecuali Wajah-Nya, kecuali akan ada
penyeru dari langit:”Bangkitlah dalam keadaan diampuni,
keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan (H.R Ahmad,
dishahihkan oleh Syaikh al-Albany)
Atha’ bin Abi Robaah –salah seorang tabi’i (murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah) berkata: Barangsiapa
yang duduk di (satu) majelis dzikir, Allah akan hapuskan baginya 10
majelis batil (yang pernah diikutinya). Jika majelis dzikir itu
dilakukan fii sabiilillah, bisa menghapus 700 majelis kebatilan (yang
pernah diikutinya). Abu Hazzaan berkata : Aku bertanya kepada
Atha’ bin Abi Robaah: Apa yang dimaksud dengan majelis dzikir? Atho’
menjelaskan: (majelis dzikir) adalah majelis (yang menjelaskan) halal
dan haram, tentang bagaimana sholat, berpuasa, menikah, thalak, dan jual
beli (Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (3/313), al-Bidayah wanNihaayah karya Ibnu Katsir(9/336)).
Akhlak yang Baik
Para Ulama’ Salaf mendefinisikan akhlaq yang baik, di antaranya :
Al-Hasan al-Bashri mengatakan : “ Akhlaq yang baik adalah dermawan, banyak memberi bantuan, dan bersikap ihtimaal (memaafkan).
AsySya’bi menjelaskan : “ Akhlaq yang baik adalah suka memberi pertolongan dan bermuka manis “
Ibnul Mubaarok mengatakan : “ Akhlaq
yang baik adalah bermuka manis, suka memberi bantuan (ma’ruf) , dan
menahan diri untuk tidak mengganggu/menyakiti orang lain “ (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rajab juz 1 hal 454-457)
Keutamaan akhlaq yang baik banyak disebutkan oleh Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits beliau :
أَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“ Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaqnya “ (H.R Ahmad, Abu Dawud, AtTirmidzi,
al-Hakim dan dishahihkan oleh adz-Dzahaby).
إِنَّ اْلمُؤْمِنَ لَيُدْركُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَاتِ الصَّائِمِ وَاْلقَائِمِ
“ Sesungguhnya seorang mukmin dengan
kebaikan akhlaqnya bisa mencapai derajat orang-orang yang (banyak)
berpuasa dan (banyak) melakukan qiyamullail “ (H.R Ahmad, Abu Dawud, dan
al-Hakim, dishohihkan oleh adz-Dzahaby)
أَكْثَر مَا يُدْخِلُ اْلجَنَّةَ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ اْلخُلُقِ
“(Hal) yang paling banyak memasukkan
orang ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik
“(H.R Ahmad, AtTirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al-Albany )
أَنَا زَعِيْمُ بَيْتٍ فِي أَعْلَى اْلجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
“ Aku menjamin rumah di bagian surga
yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaqnya”(H.R Abu Dawud dan
AtThobrooni dan dihasankan oleh Syaikh al-Albany)
Langganan:
Komentar (Atom)

