Jumat, 14 Juni 2013

HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU ISLAM

Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin. Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.
Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
24/1/1418 H
Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.
Ditulis oleh :
Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn
24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Para pembaca sekalian,
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.
Wallâhu a’lam bish shawâb

Selasa, 11 Juni 2013


Risalah Untuk Imam Masjid

Muqoddimah
Saudaraku kaum muslimin, berikut ini adalah contoh surat seseorang kepada Imam Masjid. Surat tersebut dibuat karena pelaksanaan sholat berjamaah di masjid dirasa terlalu cepat. Makmum sering ketinggalan dalam membaca AlFatihah (padarokaat yang tidakdibacakeras). Mereka juga ketinggalan pada gerakan ruku’  dan sujud, karena Imam hanya sekedar mengejar batas  minimum  thuma’ninah :  membaca tasbih 1x.
Kebetulan, Imam masjidnya bacaannya Qurannya bagus, dan bermadzhab Asy-Syafi’i, seperti kebanyakan Imam masjid yang lain di Indonesia. Sehingga, dinukilkan beberapa pendapat Ulama yang dijadikan rujukan, seperti Imam AnNawawi, Ibnul Mubarak, dan al-Hasan al-Bashri.
Isi surat tersebut telah di modifikasi dengan menghilangkan identitas tempat tertentu, sehingga mungkin bisa sebagai rujukan umum untuk dihidangkan pada Imam-imam di masjid yang lain yang kondisinyasama.Baarakallaahufiikum…
Isi SuratnyaadalahSebagaiberikut:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعين
Al-‘afwuminkum, Ustadz….
Surat ini sekedar sebagai media untuk semakin memperkokoh ukhuwah dan persaudaraan di antarakita. Kebetulan, saya merasa lebih nyaman jika bisa menyampaikannya dengan leluasa melalui tulisan ini.
Sebelumnya saya mohon maaf jika ada kata-kata yang dirasa kurang berkenan, semoga Allah SubhaanahuWaTa’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan ampunanNya kepada kita semua…
Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah karena Ustadz sebagai Imam di masjid di desa kita. Dalam salah satu sisi, bacaan Quran Ustadz adalah bacaan yang baik, tepat, dan benar yang bisa menghantarkan kekhusyukan para Jama’ah, sebagai suatu nikmat dari Allah SubhaanahuWaTa’ala.
Tidak semua masjid atau musholla Imamnya bacaannya benar. Kadang kala bacaan Imam tidak tepat makhraj atau panjang pendeknya. Tapi Alhamdulillah, Imam masjid kami tidak seperti itu, bi ‘aunillahwarohmatihi…
            Bagi saya dan sebagian saudara kita, mengikuti sholat berjamaah yang suasananya nyaman, khidmat, khusyu’  dan tenang adalah suatu kebutuhan. Kami ingin menikmati ibadah sholat berjamaah tersebut. Sebagaimana Nabi menyatakan:
وَجُعِلَتْقُرَّةُعَيْنِيفِيالصَّلَاةِ (رواه أحمد والنسائي)
“dan dijadikan penyejuk jiwaku dalam sholat” (H.R Ahmad dan anNasaai)
Namun, seringkali kami merasa sholat yang kami ikuti terlalu cepat. Mungkin karena kami masih dangkal keilmuannya. Butuh lebih banyak waktu untuk meresapi dan merasukkan makna bacaan sholat dalam sanubari kami. Beda dengan Ustadz yang sudah demikian mahir dalam bahasa Arab, bacaan cepat pun sudah bisa menghantar pada kekhusyukan, sudahmembekas dalam hati dan menjadi asupan jiwa yang menenangkan.
Kami, atau mungkin hanya saya,  sering keteteran jika membaca AlFatihah, khususnya untuk rokaat-rokaat yang Imam tidak membacanya dengan keras.  Sering kali saat saya masih sampai bacaan : Maalikiyaumiddin, sudah terdengar takbir untuk beranjak menuju ruku’. Belum sempat saya menyelesaikan bacaan AlFatihah tersebut secara sempurna. Padahal, di AlFatihah itulah, kesempatan kami untuk bermunajat, berbisik, menghaturkan pujaan, ketegasan komitmen sebagai mukmin, dan permohonan kepada Allah. Namun, justru kami sering ketinggalan. Bukankah AlFatihah adalah komunikasi kita dengan Allah?Kita berbisik, Allah menjawab seruan kita?
Dalam hadits Qudsi, melalui lisan Rasul-Nya, Allah menyatakan:
“Akumembagi as-sholaah (AlFatihah) antara diri Ku dengan hamba Ku menjadi 2 bagian. Jika seorang hamba mengucapkan : AlhamdulillahiRobbil ‘Aalamiin,  Allah menyatakan:  hambaku telahmemujiKu. Jika hamba mengucapkan : ArRohmaanirrohiim, Allah menyatakan : hambaku memujaKu (berulang memujiKu). Jika hamba mengatakan : Maalikiyaumiddin, Allah menyatakan : hambaKu telah memulyakan Aku, di saat lain Allah menyatakan : hambaku telah menyerahkan (urusannya) kepadaKu. Jika hamba mengucapkan: Iyyaakana’buduwaiyyaakanasta’iin, Allah menyatakan :  ini adalah bagian antara diriKu dengan hambaKu, bagi hambaku apa yang ia minta. Jika hamba mengucapkan : IhdinasshirootholMustaqiim, shirootholladziinaan’amta ‘alaihim, ghoirilmaghdhuubi ‘alaihimwalad-dhoo-lliin, Allah menyatakan : ini untuk hambaKu, bagi hambaKu apa yang iaminta”(H.R Muslim).  

Bagi kami yang masih dangkal keilmuannya ini, butuh minimal sekitar 15 detik untuk menyelesaikan bacaan AlFatihah dengan menghayati maknanya. Sehingga saya mohon kepada Ustadz sebagai Imam untuk memberikan kesempatan kepada kami para makmum agar tidak ketinggalan dalam membaca AlFatihah, sehingga bisa menyelesaikannya dengan sempurna.
Demikian juga dengan gerakan ruku’ dan sujud kami juga sering keteteran dan ketinggalan. Memangkadar minimal thuma’ninah sudah terpenuhi, namun kadar minimal kesempurnaan tasbih belum terpenuhi. Jumlah minimal bacaan tasbih yang sempurna adalah 3 kali. Al-Imam AnNawawy Asy-Syafi’i menyatakan:
قال أصحابنا يستحب التسبيح في الركوع ويحصل أصل السبحة بقوله سبحان الله أو سبحان ربي وأدنى الكمال أن يقول سبحان ربى العظيم ثلاث مرات فهذا أدنى مراتب الكمال (المجموع شرح المهذب ج 3 ص 413)
Para Sahabat kami (asy-Syafi’iyah) berkata: disukai tasbih pada waktu ruku’, dan tercukupi asal kalimat tasbih dengan ucapan: Subhaanallah atau SubhaanaRobbi, dan kesempurnaan yang paling rendah adalah mengucapkan Subhaana Robbiyal ‘Adzhim 3 kali, maka ini adalah tingkatan kesempurnaan yang paling rendah (lihatKitab al-Majmu’ SyarhulMuhadzdzabjuz 3 halaman 413).
Dalam Syarh Sunan Ibnu Majah (yang salah seorang penulisnya adalah Imam As-Suyuthi) dinyatakan :
وروي عن بن المبارك أنه قال يستحب للامام ان يسبح خمس تسبيحات لكي يدرك من خلفه ثلاث تسبيحات (شرح سنن ابن ماجة 1-64 للسيوطي , عبد الغني وفخر الحسن الدهلوي)
Dan diriwayatkan dari Ibnul Mubaarok bahwasanya ia berkata : disukai bagi Imam untukbertasbih 5 kali (dalamruku’ dan sujud) agar orang yang di belakangnya bisa membaca 3 kali tasbih (SyarhSunanIbnuMajahjuz 1 halaman 64 karya As-Suyuthy, Abdul Ghony, danFakhrulHasan ad-Dahlawy).
Al-Hasan al-Bashri juga menyatakan:
التَّامُّ مِنَ السُّجُودِ ، قَدْرُ سَبْعِ تَسْبِيحَاتٍ ، وَالْمُجْزِئُ ثَلاَثٌ
Yang terhitung sempurna dalam sujud adalah kadar (ucapan) 7 tasbih, dan yang mencukupi adalah 3 kali “ (diriwayatkanolehIbnuAbiSyaibahdalamMushonnafnya)
Ibnu Rajab menyatakan:
وقال بعض أصحابنا يكره للإمام أن ينقص عن أدنى الكمال في الركوع والسجود ، ولا يكره للمنفرد ؛ ليتمكن المأموم من سنة المتابعة (فتح الباري لابن رجب 5-63)
Sebagian Sahabat kami menyatakan : dimakruhkan bagi Imam untuk mengurangi (jumlah bacaan tasbih) daribatas minimum kesempurnaan pada waktu ruku’ dan sujud, tidak dimakruhkan bagi orang yang sholatsendirian, (hal yang demikian itu) supaya memungkinkan bagi makmum untuk menjalankan sunnah mutaaba’ah (mengikutiImam,pent)(Fathul Baari karya Ibnu Rojab juz 5 halaman 63)
Karena itu Ustadz, kami mohon, kiranya dalam ruku’ dan sujud dalam sholat berjamaah kita, kami bisa membaca tasbih minimal 3 kali, sehingga terpenuhi batas terendah kesempurnaan.
Demikian Ustadz, apa yang kami sampaikan ini sekedar harapan dan usulan agar kitabersama-sama bisa mempersembahkan ibadah yang terbaik di hadapan Allah Ta’ala, yang tiada daya dan upaya kecuali atas pertolonganNya. Semoga Allah SubhaanahuWaTa’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahNya kepada kita semua.
وصلى الله على نبينا محمد و على أله وأصحابه وسلم, والحمد لله رب العالمين

Senin, 10 Juni 2013

Rukun Islam (Bag IV)

Adapun Rukun Syahadat “Muhammadur-Rasulullah”, maka ada dua:
1. Mengakui kerasulan Muhammad.
2. Meyakini bahwa Beliau hanya hamba, sebagaimana yang Beliau sabdakan:
“Sesungguhnya saya hanyalah hamba, maka sebutlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Maka Beliau tidak boleh diangkat melebihi derajat ketinggiannya hingga memberikan kepada Beliau suatu sifat yang khusus bagi Allah, misalnya: meyakini Beliau mengetahui yang ghaib, memberi manfaat dan memudharatkan, dapat mengabulkan hajat dan menghilangkan kerusakan.
Allah telah menyebutkan bahwa Beliau sebagai hamba-Nya di tempat-tempat termulia sebagai berikut:
a. Pada penurunan Al-Qur’an
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ
“Maha Suci Allah Yang menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya.” (QS. Al-Furqan: 1)
b. Isra’
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ
“Maha Suci Allah Yang memperjalankan hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 1)
c. Ketika shalat dan berdoa:
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
“Dan bahwasanya tatkala berdiri hamba Allah menyeru-Nya.” (QS. Al-Jin: 19)
d. Saat terlindungi dan tercukupi:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“Bukankah Allah Yang mencukupi hamba-Nya?” (QS. Az-Zumar: 36)
Sungguh Allah telah memuliakan Nabi Muhammad, mengaruniakan baginya nikmat yang banyak dan sifat-sifat yang agung, di mana dengan semua itu Allah mengangkat derajatnya dan meninggikan kedudukannya di antara seluruh makhluk, di antaranya:
a. Beliau disebut beserta para Nabi di dalam wahyu, firman Allah:
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَىٰ وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ ۚ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
“Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan Nabi-nabi sesudahnya. Dan Kami wahyukan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun, Sulaiman, serta Kami telah memberikan kepada dawud kitab Zabur.” (QS. An-Nisaa: 163)
b. Beliau penutup para Nabi:
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Tidaklah Muhammad itu bapak salah seorang kalian, melainkan dia adalah penutup para Nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)
c. Beliau muslim pertama:
إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ
“Saya diperintahkan untuk menjadi orang yang pertama berislam.” (QS. Al-An’am: 14)
d. Di antara keagungan derajatnya, orang-orang mukmin mendahulukan Beliau atas diri mereka sendiri, dan istri-istri Nabi menjadi ibu orang-orang beriman:
النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri, dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darahsatu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah.” (QS. Al-Ahzab: 6)
e. Pemberi syafa’at yang diizinkan Allah pada hari mahsyar, Beliau nabi pembawa rahmat, makhluk terbaik, dakwahnya mencakup dua alam (manusia dan jin), pemimpin anak cucu Adam, dan Beliau Nabinya islam.
e. Syarat-syarat Laa ilaaha illallah
Para ulama menyebutkan bahwa kalimat ikhlas atau tauhid mempunyai tujuan syarat dan sebagian menyatakan delapan dan sebagian menyusunnya dalam ucapan:
“Ilmu, yaqin, ikhlas dan kejujuranmu beserta
Cinta, tunduk, dan menerimanya ditambah dengan kedelapannya pengingkaran darimu dengan apa
yang selain Allah berupa berhala yang telah dipertuhankan.”
1. Ilmu
Jika seorang hamba sudah mengetahui bahwa hanya Allah yang patut disembah dan penyembahan kepada selain-Nya merupakan kebatilan serta ia beramal dengan tuntutan kalimat tauhid itu, maka ia telah berilmu akan makna kalimat tauhid. Allah berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Ilmuilah bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Allah berfirman:
إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Kecuali yang menyaksikan dengan benar sedang mereka mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang mati sedang dia mengilmui bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah maka dia akan masuk surga.”
2. Yakin
Wajib bagi orang yang mengikrarkannya untuk meyakini sepenuh hatinya dan meyakini akan kebenaran apa yang dia lafazkan bahwa hanya Allah yang berhak dengan ketuhanan sedangkan ketuhanan selain-Nya adalah batil. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
“Dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu juga mereka yakin pada hari akhir.” (QS. Al-Baqarah: 4)
Dari abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda:
“Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya saya utusan Allah. Tidaklah seorang hamba menemui Allah membawa kalimat ini tanpa ragu kepadanya kecuali dia pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda kepadanya:
“Siapa saja yang kamu temui di belakang dinding ini yang bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan hatinya yakin pada kalimat ini maka berilah ia berita gembira dengan surga.” (HR. Muslim)
Allah menyifati kaum mukmin:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya hanyalah (termasuk) orang-orang beriman, orang-orang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya lalu mereka tidak ragu.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Artinya: tidak ragu, bahkan mereka yakin dengan sesempurna keyakinan. Adapuun orang yang ragu maka termasuk orang yang munafik, sebagaimana firman Allah:
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“Hanyalah yang meminta izin kepadamu ialah mereka yang tidak beriman pada Allah dan Hari Akhir serta hati mereka ragu lalu mereka berbolak-balik dalam keraguannya.” (QS. At-Taubah: 45)
(Syarah kitab AD-Durus Al-Muhimmah oleh Muhammad bin Ali)

Jumat, 07 Juni 2013


Iringi Keburukan Dengan Kebaikan

(Syarh Hadits Ke-18 Arbain anNawawiyyah)
عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.[رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح]
Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdurrahman, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik”.
[HR. Tirmidzi, ia telah berkata: Hadits ini hasan, pada lafazh lain derajatnya hasan shahih]
Sedikit Penjelasan tentang Sahabat yang Meriwayatkan Hadits
Abu Dzar al-Ghiffary berasal dari Ghiffaar (jalur yang dilewati penduduk Makkah jika akan berdagang ke Syam) , nama aslinya Jundub bin Junaadah adalah orang ke-5 yang masuk Islam saat Nabi masih berada di Makkah dan berdakwah secara sembunyi. Beliaulah orang pertama yang mengucapkan salam secara Islam kepada Nabi. Selama masa mencari Nabi di Makkah beliau tinggal di dekat Ka’bah selama 15 hari tidak makan dan minum apapun kecuali air zam-zam hingga menjadi gemuk. Setelah bertemu Nabi dan masuk Islam beliau kembali pada kaumnya, mengajarkan Islam kepada mereka, dan tinggal di sana. Setelah perang Uhud, barulah Abu Dzar bisa menyusul Nabi hijrah ke Madinah.
Sedangkan Muadz bin Jabal adalah Sahabat Nabi yang paling mengetahui tentang halal dan haram (H.R Ibnu Hibban). Nabi juga memerintahkan untuk mengambil (ilmu) al-Quran dari 4 orang, yaitu : Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal dan Salim maula Abi Hudzaifah(H.R al-Bukhari). Muadz bin Jabal juga diutus Nabi ke Yaman untuk berdakwah di sana.
PENJELASAN UMUM MAKNA HADITS
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam memberikan bimbingan dalam 3 hal:
  1. Bertakwa kepada Allah di manapun kita berada. Di waktu sendirian maupun di tengah keramaian. Di setiap waktu dan tempat.
  2. Jika suatu ketika kita melakukan dosa, susulkanlah / iringi dengan banyak perbuatan ibadah dan kebaikan, agar bisa menghapus dosa itu.
  3. Bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik
Definisi Taqwa
Thalq bin Habiib(seorang Tabi’i, salah satu murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas) menjelaskan definisi taqwa: “Amalan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan mengharap pahala Allah dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan perasaan takut dari adzab Allah”.
Banyak para Ulama’ yang memuji definisi ini di antaranya al-Imam adz-Dzahaby, kemudian beliau mensyarah (menjelaskan) maksud dari definisi tersebut dalam Siyaar A’laamin Nubalaa’ (4/601)
Beberapa poin penting dari definisi taqwa menurut Thalq bin Habiib tersebut:
  1. Taqwa adalah amalan ketaatan kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
Taqwa harus berupa amal perbuatan, tidak cukup hanya dalam hati atau ucapan saja.
  1. Taqwa harus didasarkan cahaya dari Allah, yaitu ilmu syar’i dan ittiba’ (mengikuti Sunnah Nabi).
Tidak mungkin seseorang bisa bertakwa kepada Allah tanpa ilmu. Dengan ilmu ia akan tahu mana hal-hal yang diperintah Allah (wajib atau sunnah), yang dilarang Allah (haram atau makruh), dan mana yang boleh dikerjakan (mubah).
Seseorang bisa beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
  1. Taqwa harus didasari keikhlasan melakukannya karena Allah bukan karena tendensi yang lain. Ia jalankan ketaatan karena mengharap pahala Allah, dan ia tinggalkan kemaksiatan karena takut dari adzab Allah.
Iringilah Perbuatan Dosa dengan Kebaikan-Kebaikan Niscaya akan Menghapus Dosa Tersebut
Amal ibadah yang dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan Sunnah Rasul selain menambah pahala juga bisa menghapus dosa sebelumnya. Di antaranya adalah sholat, puasa, shodaqoh, umrah, amar ma’ruf nahi munkar, duduk di majelis ta’lim, dan semisalnya.
الصَّلَوَاتُ اْلخَمْسُ وَاْلجُمُعَةُ إِلَى اْلجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَ اْلكَبَائِر (رواه مسلم)
 “ (antara) sholat lima waktu (yang satu dengan berikutnya), Jumat dengan Jumat, Romadlon dengan Romadlon, sebagai penghapus dosa di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan “ (H.R Muslim)
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَنَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ يُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلَاةُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
Fitnah yang dialami seorang laki-laki pada keluarga, harta, diri, dan tetangganya dihapuskan oleh puasa, sholat, shodaqoh, dan amar ma’ruf nahi munkar (H.R Muslim)
Namun, yang bisa dihapus dengan perbuatan-perbuatan baik (ibadah) itu adalah untuk dosa-dosa kecil saja, sedangkan dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat nashuha. Syarat taubat nashuha adalah bertaubat dengan ikhlas karena Allah semata, menyesal secara sungguh atas perbuatannya, meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi selama-lamanya, dan jika terkait dengan hak hamba Allah yang lain, ia harus meminta maaf (minta dihalalkan).
Apa perbedaan dosa besar dengan dosa kecil? Dosa besar adalah segala macam perbuatan atau ucapan yang dilarang dan dibenci Allah dan diancam dalam dalil-dalil alQuran atau hadits dengan adzab neraka, laknat Allah, kemurkaan Allah, tidak akan masuk surga, tidak termasuk orang beriman, Nabi berlepas diri dari pelakunya, atau dosa yang ditegakkan hukum had di dunia, seperti membunuh, berzina, mencuri, dan semisalnya. Sedangkan dosa kecil adalah sesuatu hal yang dibenci atau dilarang Allah dan Rasul-Nya namun tidak disertai dengan ancaman-ancaman seperti dalam dosa besar.
Namun, harus dipahami bahwa suatu dosa yang asalnya kecil bisa menjadi besar jika dilakukan terus menerus dan dianggap remeh.
Sahabat Nabi Anas bin Malik menyatakan:
لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ اْلإِصْرَارِ
Tidak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus (riwayat ad-Dailamy dan al-Iraqy menyatakan bahwa sanadnya jayyid (baik))
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ
Hati-hatilah kalian dari dosa yang diremehkan (dosa kecil) karena dosa itu bisa berkumpul pada seseorang hingga membinasakannya (H.R Ahmad, atThobarony, al-Baihaqy, dinyatakan oleh al-Iraqy bahwa sanadnya jayyid (baik),
Majelis Ilmu Menghapus Dosa dan Menggantikan Keburukan Menjadi Kebaikan
Duduk di majelis ta’lim yang di dalamnya dibahas ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits yang shohih dengan pemahaman Salafus Sholeh, bisa menyebabkan dosa terampuni. Bahkan keburukan-keburukan diganti dengan kebaikan.
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ اللَّهَ لاَ يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ قَدْ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ
Tidaklah suatu kaum berkumpul mengingat Allah,  tidak menginginkan kecuali Wajah-Nya, kecuali akan ada penyeru dari langit:”Bangkitlah dalam keadaan diampuni, keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan (H.R Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh  al-Albany)
Atha’ bin Abi Robaah –salah seorang tabi’i (murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas,  Ibnu Umar, Abu Hurairah) berkata: Barangsiapa yang duduk di (satu) majelis dzikir, Allah akan hapuskan baginya 10 majelis batil (yang pernah diikutinya). Jika majelis dzikir itu dilakukan fii sabiilillah, bisa menghapus 700 majelis kebatilan (yang pernah diikutinya). Abu Hazzaan berkata : Aku bertanya kepada Atha’ bin Abi Robaah: Apa yang dimaksud dengan majelis dzikir? Atho’ menjelaskan: (majelis dzikir) adalah majelis (yang menjelaskan) halal dan haram, tentang bagaimana sholat, berpuasa, menikah, thalak, dan jual beli (Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (3/313), al-Bidayah wanNihaayah karya Ibnu Katsir(9/336)).
Akhlak yang Baik
Para Ulama’ Salaf  mendefinisikan akhlaq yang baik, di antaranya :
Al-Hasan al-Bashri mengatakan : “ Akhlaq yang baik adalah dermawan, banyak memberi bantuan, dan bersikap ihtimaal (memaafkan).
AsySya’bi menjelaskan : “ Akhlaq yang baik adalah suka memberi pertolongan dan bermuka manis
Ibnul Mubaarok mengatakan : “ Akhlaq yang baik adalah bermuka manis, suka memberi bantuan (ma’ruf) , dan menahan diri untuk tidak mengganggu/menyakiti orang lain “ (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rajab juz 1 hal 454-457)
Keutamaan akhlaq yang baik banyak disebutkan oleh Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits beliau :
أَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“ Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya “ (H.R Ahmad, Abu Dawud, AtTirmidzi, al-Hakim dan dishahihkan oleh adz-Dzahaby).
إِنَّ اْلمُؤْمِنَ لَيُدْركُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَاتِ الصَّائِمِ وَاْلقَائِمِ
“ Sesungguhnya seorang mukmin dengan kebaikan akhlaqnya bisa mencapai derajat orang-orang yang (banyak) berpuasa dan (banyak) melakukan qiyamullail “ (H.R Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim, dishohihkan oleh adz-Dzahaby)
أَكْثَر مَا يُدْخِلُ اْلجَنَّةَ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ اْلخُلُقِ
“(Hal) yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik “(H.R Ahmad, AtTirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al-Albany )
أَنَا زَعِيْمُ بَيْتٍ فِي أَعْلَى اْلجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
“ Aku menjamin rumah di bagian surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaqnya”(H.R Abu Dawud dan AtThobrooni dan dihasankan oleh Syaikh al-Albany)